losandes.biz: Mengapa anakanak berbohong dan apakah ini normal
Dalam era yang terus berkembang dengan pesat, informasi telah menjadi komoditas yang tak ternilai harganya. Dari revolusi digital hingga transformasi teknologi, dunia kita kini tenggelam dalam lautan informasi yang tak pernah kering. Artikel ini mengajak kita untuk melangkahkan kaki ke dalam kompleksitas tatanan informasi saat ini, mengeksplorasi tantangan dan peluang yang muncul dalam mengelola dan memahami gelombang informasi yang terus menggulung. Dari algoritma cerdas hingga arus berita yang tak kenal lelah, mari kita telaah bersama bagaimana kita dapat menjadikan informasi sebagai alat untuk mendobrak batasan dan memahami dunia di sekitar kita dengan lebih baik.
Berikut adalah artikel atau berita tentang Harian losandes.biz dengan judul losandes.biz: Mengapa anakanak berbohong dan apakah ini normal yang telah tayang di losandes.biz terimakasih telah menyimak. Bila ada masukan atau komplain mengenai artikel berikut silahkan hubungi email kami di [email protected], Terimakasih.
Ketika seorang anak melakukan klaim palsu semisal “Ayah bilang aku boleh makan es krim”, mereka menggunakan kesadaran pikiran orang lain untuk menanamkan pengetahuan yang palsu.
Bagaimana berbohong berubah seiring bertambahnya usia
Ketika anak kecil berbohong untuk pertama kalinya, mereka lebih melakukannya sebagai humor ketimbang kebohongan efektif. Misalnya, anak-anak yang mengklaim bahwa mereka tidak memakan kue apa pun sedangkan mulutnya masih mengunyah kue, atau menyalahkan anjingnya karena telah mencoret tembok rumah.
Anak kecil mungkin mengetahui mereka dapat mengelabui orang lain, tapi mereka belum bisa melakukannya dengan mahir.
Tapi secara keseluruhan, anak-anak dalam kelompok tersebut juga mengalami kesulitan untuk mempertahankan kebohongan mereka. Mereka yang berusia tiga sampai lima tahun dapat menjaga raut muka datar mereka saat berbohong, meskipun pada akhirnya cenderung mengakui kebohongan mereka.
Sedangkan mereka yang berusia enam dan tujuh tahun akan lebih ahli dalam menyembunyikan kebohongan mereka, misalnya dengan pura-pura tidak tahu atau pun dengan sengaja tidak menyebut nama Barney.
Perkembangan moral juga terjadi. Anak yang lebih muda cenderung berbohong untuk keuntungannya sendiri, sedangkan mereka yang lebih dewasa lebih mengantisipasi perasaan buruk terhadap dirinya apabila berbohong.
Anak yang lebih dewasa dan remaja juga dapat lebih menggambarkan hubungan di antara bentuk-bentuk kebohongan yang berbeda. Misalnya, kebohongan dengan tujuan kebaikan, bagi mereka, dianggap lebih tepat dibandingkan kebohongan yang bersifat membahayakan atau demi melanggar aturan.
Meskipun jarang terdapat studi yang memperkirakan frekuensi berbohong yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja, para remaja kerap kali ditemukan berbohong kepada orang tua dan gurunya mengenai sesuatu yang dianggap sebagai urusan pribadi mereka.
Sebuah studi menemukan bahwa 82% remaja di Amerika Serikat mengakui bahwa dalam setahun terakhir, mereka telah berbohong kepada orang tuan soal uang, konsumsi alkohol, obat terlarang, pertemanan, kencan, pesta, atau melakukan hubungan seks.
Kebanyakan dari mereka berbohong soal pertemanan (67%) maupun konsumsi alkohol dan obat terlarang (65%). Yang mengejutkan adalah hanya sedikit dari mereka yang berbohong soal melakukan hubungan seks (32%).
Apakah kebohongan dapat menyebabkan permasalahan?
Terlepas dari prevalensinya, kebohongan yang dilakukan oleh anak-anak jarang sekali menyebabkan permasalahan. Penting juga untuk mengingat banyak dari orang dewasa yang berbohong—terkadang untuk kebaikan, semisalnya berbohong untuk menjaga perasaan orang lain, dan terkadang ketika sakit. Meskipun perkiraanya bervariasi, sebuah studi menunjukkan sekitar 40% dari orang dewasa di AS mengakui bahwa mereka telah melakukan kebohongan dalam 24 jam terakhir.
Anak-anak dengan gangguan tingkah laku atau ODD dapat menyebabkan kekacauan yang cukup besar di rumah atau sekolah melalui upaya perlawanan berulang dan dapat membahayakan orang lain dan benda-benda sekitar. Tapi untuk mendiagnosisnya, perbuatan bohong tersebut harus diikuti dengan sekelompok gejala lain, misalnya menolak untuk patuh terhadap figur otoritas, terus melanggar aturan, dan tidak mampu bertanggung jawab atas perbuatannya.
Read more:
Truth is, everyone lies all the time
Kasus lainnya dalam masalah pengasuhan orang tua adalah ketika berbohong dapat digunakan anak untuk menutupi masalah kesehatan mental lainnya karena takut atau malu. Sebagai contoh, seorang anak atau remaja yang menderita kecemasan berat mungkin melakukan kebohongan besar untuk menghindari situasi yang membuat mereka takut (misalnya sekolah, pesta, kuman). Mereka juga berbohong untuk menghindar dari stigma gangguan kesehatan mental.
Orang tua dan guru membuat perubahan
Ketika berbohong merupakan bagian dari perkembangan anak yang normal, orang tua dan guru dapat membantu anak-anak dalam mengungkap kebenaran dengan tiga cara.
Pertama, hindari memberi hukuman yang berat atau berlebihan. Dalam sebuah studi yang membandingkan sekolah di Afrika Barat yang memberlakukan hukuman berat (seperti memukulnya dengan tongkat, menampar, dan mencubit) dengan sekolah yang memberlakukan teguran (seperti disuruh keluar atau diomelin), menunjukkan bahwa siswa di sekolah yang memberlakukan hukuman berat lebih cenderung memiliki murid yang menjadi pembohong yang efektif.
Anak-anak dari keluarga yang memiliki aturan ketat dan tidak mau membuka dialog juga menunjukkan frekuensi berberbohong yang lebih sering.
Read more:
Kualitas buruk pelajar Indonesia akibat proses belajar tidak tuntas. Apa yang bisa dilakukan?
Kebohongan yang dilakukan anak adalah perkembangan yang normal
Tetapi dalam situasi lain, ingatlah bahwa berbohong hanyalah satu cara anak belajar untuk mengendalikan dunia sosial. Keterbukaan dan diskusi yang hangat untuk menceritakan kebenaran pada akhirnya akan membantu mengurangi kebohongan anak-anak saat mereka berkembang.