Blog

losandes.biz: Antara Pencitraan dan Kebohongan Publik


Dalam era yang terus berkembang dengan pesat, informasi telah menjadi komoditas yang tak ternilai harganya. Dari revolusi digital hingga transformasi teknologi, dunia kita kini tenggelam dalam lautan informasi yang tak pernah kering. Artikel ini mengajak kita untuk melangkahkan kaki ke dalam kompleksitas tatanan informasi saat ini, mengeksplorasi tantangan dan peluang yang muncul dalam mengelola dan memahami gelombang informasi yang terus menggulung. Dari algoritma cerdas hingga arus berita yang tak kenal lelah, mari kita telaah bersama bagaimana kita dapat menjadikan informasi sebagai alat untuk mendobrak batasan dan memahami dunia di sekitar kita dengan lebih baik.

Berikut adalah artikel atau berita tentang Harian losandes.biz dengan judul losandes.biz: Antara Pencitraan dan Kebohongan Publik yang telah tayang di losandes.biz terimakasih telah menyimak. Bila ada masukan atau komplain mengenai artikel berikut silahkan hubungi email kami di [email protected], Terimakasih.

Oleh: Tony Rosyid*

Membicarakan “political branding” Jokowi seolah tak pernah akan ada habisnya. Karena setiap moment bisa diolah menjadi merek politik. Itulah kelebihan Jokowi dibanding politisi lainnya.

Tidak hanya Jokowi, sebenarnya setiap politisi, terutama calon kepala daerah dan presiden pasti membutuhkan brand yang mudah dillekatkan di hati konstituen. Jokowi dengan blusukan, Ridwan Kamil ngebranding dirinya dengan taman kota, Dedi Mulyadi, bupati Purwakarta, mempopulerkan dirinya dengan budaya singkretik, dan Ahok dengan kegarangan. 

Politik mutlak butuh pencitraan. Tanpa pencitraan, orang tidak akan mengenalnya. Pencitraan merupakan bagian dari kebutuhan branding bagi setiap orang yang butuh suara publik. Di era dimana partisipasi suara rakyat adalah penentu nasib para politisi, maka hukum yang berlaku adalah “tak kenal, maka tak terpilih”.

Jika anda ingin terjun di dunia politik, integritas dan kapabilitas tidak cukup. Orang perlu kenal siapa anda sehingga orang tertarik kepada anda. Tidak semua orang mampu mengenalkan dirinya kepada publik dengan kesan yang menarik. Disinilah para politisi butuh keahlian orang/team yang menguasai bidang piar ini. Dalam konteks politik, para ahli ini sering disebut dengan istilah “konsultan politik.”

Tugas konsultan politik pertama-tama adalah melakukan survey tentang popularitas, kedisukaan dan kemudian elektabilitas tokoh yang akan dibranding. Pensurvey akan membaca dan menganalisis tentang faktor apa saja yang membuat masyarakat suka sehingga mereka menjatuhkan pilihan kepada sosok yang akan dibranding. Inilah dasar yang digunakan para konsultan politik untuk “mendandani” sang sosok yang sedang dijagokan.

Tugas utama konsultan adalah membuat “si jagoannya” punya citra menarik di mata publik, sehingga publik suka dan akhirnya menjatuhkan pilihannya. Prosesi ini sering orang sebut dengan istilah “pencitraan.”

Pencitraan bisa dijauhkan, dan mestinya demikian, dari praktek kebohongan publik melalui dua syarat: pertama festival ide dan gagasan yang tertuang dalam program mesti rasional dan realistis. Ada jaminan bahwa program-program yang ditawarkan itu tidak saja menarik, tapi akan mampu dijalankan untuk memberi perubahan dan menjadi solusi bagi problem yang selama ini dihadapi oleh rakyat.

Dua persyaratan di atas mesti menjadi ukuran rakyat dalam menilia pemimpin agar pencitraan tidak lagi menjadi festival kebohongan publik yang akhirnya akan membuat bangsa ini semakin terpuruk.

*Tony Rosyid, Direktur Graha Insan Cendikia