Blog

losandes.biz: Arti Istilah Oligarki dalam Politik


Dalam era yang terus berkembang dengan pesat, informasi telah menjadi komoditas yang tak ternilai harganya. Dari revolusi digital hingga transformasi teknologi, dunia kita kini tenggelam dalam lautan informasi yang tak pernah kering. Artikel ini mengajak kita untuk melangkahkan kaki ke dalam kompleksitas tatanan informasi saat ini, mengeksplorasi tantangan dan peluang yang muncul dalam mengelola dan memahami gelombang informasi yang terus menggulung. Dari algoritma cerdas hingga arus berita yang tak kenal lelah, mari kita telaah bersama bagaimana kita dapat menjadikan informasi sebagai alat untuk mendobrak batasan dan memahami dunia di sekitar kita dengan lebih baik.

Berikut adalah artikel atau berita tentang Harian losandes.biz dengan judul losandes.biz: Arti Istilah Oligarki dalam Politik yang telah tayang di losandes.biz terimakasih telah menyimak. Bila ada masukan atau komplain mengenai artikel berikut silahkan hubungi email kami di [email protected], Terimakasih.

JAKARTA, KOMPAS.com – Ramai pernyataan Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad soal oligarki.

Dasco mengklaim, partainya tidak mengenal oligarki. Partai berlambang kepala garuda itu saat ini tengah menyiapkan regenerasi internal.

Baca juga: Klaim Gerindra Bukan Partai Oligarki, Dasco: Partai Lain Bapaknya Ketum, Anaknya Langsung Dikarbit

Menurut Dasco, semua orang harus melewati jenjang kaderisasi untuk mencapai puncak kepemimpinan di partainya.

Ia bahkan menyinggung regenerasi partai politik lain yang ia nilai kurang berjalan. Namun demikian, Dasco tak menyebutkan secara rinci partai yang ia maksud.

“Jadi tidak seperti partai lain yang bapaknya mendirikan partai dan ketua umum partai, tiba-tiba anaknya langsung dikarbit,” ujar dia.

Baca juga: Dasco: Gerindra Bukan Partai Oligarki

Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), oligarki adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu.

Oligarki berasal dari bahasa Yunani, “oligarkhes”, yang berarti sedikit yang memerintah.

Di dalam ilmu negara, banyak konsep tentang oligarki. Salah satu yang paling populer yakni gagasan filsuf Plato.

Baca juga: Presidential Threshold: Pengertian dan Sejarahnya dari Pemilu ke Pemilu di Indonesia

Sementara, filsuf Polybios memandang, oligarki lahir akibat aristokrasi bertindak sewenang-wenang yang mendorong lahirnya pemerintahan yang dipimpin segelintir elite (oligarki) untuk memperbaiki kondisi kesewenangan aristokrasi.

Adapun Jeffrey A Winters dalam bukunya Oligarki (2011), mendeteksi oligarki Indonesia membesar di masa Presiden Soeharto.

Pada masa itu terjadi oligarki sultanistik, kondisi ketika ada monopoli sarana pemaksaan di tangan satu oligark, bukan di tangan negara yang terlembaga dan dibatasi hukum.

Oligarki di Indonesia

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, oligarki tumbuh subur dalam sistem demokrasi Tanah Air, khususnya dalam gelaran Pemilu dan Pilkada.

Hal ini setidaknya disebabkan oleh empat hal, mulai dari tata kelola partai politik yang belum demokratis, regulasi, penegakan hukum lemah, hingga kesadaran masyarakat yang rendah.

Terkait tata kelola internal partai yang belum demokratis, Titi menilai, pengambilan keputusan di parpol ditentukan oleh segelintir orang saja.

Rekrutmen calon kepala daerah masih didominasi pimpinan partai. Sedangkan pengurus dan anggota tidak punya akses memadai pada pengambilan keputusan yang dilakukan partai.

Baca juga: Pasal Presidential Threshold: Berkali-kali Digugat, Berulang Kali Ditolak MK

“Sekarang apakah anggota partai tahu mengapa si A, B, C, D yang dicalonkan partai? Tidak ada akuntabilitas yang bisa diakses oleh pengurus dan anggota partai terkait proses nominasi di internal partai,” kata Titi, Juli 2020.

Terkait regulasi, Titi menyinggung soal ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, juga kepala daerah.

Diketahui, untuk dapat mencalonkan presiden dan wakil presiden, partai politik atau gabungan partai politik harus memperoleh kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya.

Kemudian, untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah, partai politik setidaknya harus memiliki 20 persen kursi atau 25 persen suara sah dari Pemilu DPRD sebelumnya.

Hal lain yang juga berkaitan dengan regulasi ialah berat dan mahalnya persyaratan pencalonan kepala daerah jalur independen atau perseorangan.

Ketiga, penegakan hukum dinilai masih lemah. Titi mengatakan, kerangka hukum Pemilu dan Pilkada didesain tidak mampu menangkap realitas keadilan pemilu dengan baik.

Sebab, politik uang dan praktik mahar politik didesain sulit untuk diusut penegakan hukum, khususnya pada aktor intelektual atau pelaku utama.

Keempat, kesadaran masyarakat terhadap Pemilu dan Pilkada dinilai masih rendah dan cenderung permisif.

Pendidikan politik yang menjadi hak rakyat yang harusnya diperoleh melalui partai tidak berjalan atau tidak tersedia.

Jika hal demikian masih terjadi, diyakini sistem oligarki masih akan terus tumbuh subur di Indonesia.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.