Blog

losandes.biz: Diaspora Indonesia Bantu Pengungsi Ukraina


Dalam era yang terus berkembang dengan pesat, informasi telah menjadi komoditas yang tak ternilai harganya. Dari revolusi digital hingga transformasi teknologi, dunia kita kini tenggelam dalam lautan informasi yang tak pernah kering. Artikel ini mengajak kita untuk melangkahkan kaki ke dalam kompleksitas tatanan informasi saat ini, mengeksplorasi tantangan dan peluang yang muncul dalam mengelola dan memahami gelombang informasi yang terus menggulung. Dari algoritma cerdas hingga arus berita yang tak kenal lelah, mari kita telaah bersama bagaimana kita dapat menjadikan informasi sebagai alat untuk mendobrak batasan dan memahami dunia di sekitar kita dengan lebih baik.

Berikut adalah artikel atau berita tentang Harian losandes.biz dengan judul losandes.biz: Diaspora Indonesia Bantu Pengungsi Ukraina yang telah tayang di losandes.biz terimakasih telah menyimak. Bila ada masukan atau komplain mengenai artikel berikut silahkan hubungi email kami di [email protected], Terimakasih.

“Memprihatinkan sekali kondisinya. Mereka terlihat sedih, kecewa, lelah. Mereka benar-benar membutuhkan bantuan, baik itu fisik maupun mental,” demikian  diceritakan warga Indonesia Fransiska Fischerauer yang membantu para pengungsi Ukraina di Jerman. “Mereka diselimuti kekhawatiran karena harus meninggalkan suaminya. Suami-suami mereka harus berjuang di Ukraina, di negaranya. Lalu juga harus meninggalkan keluarga, seperi nenek dan kakek yang tidak bisa ikut ke Jerman atau ikut ke negara lain, Polandia, karena kondisi mereka yang tidak memungkinkan, terlalu tua atau sakit. Ada yang membawa koper, baju-baju. Ada juga yang hanya dengan membawa badan saja, yang penting menyelamatkan anak-anak mereka. Kebanyakan mereka perempuan. Jadi istri-istri ini, perempuan, atau remaja perempuan, membawa adik-adik dan anak-anaknya untuk mengungsi ke negara-negara yang lebih aman. Jadi, benar-benar menyedihkan kondisi mereka, memprihatinkan,” ungkap Fransiska.

Awal mula ia membantu pengungsi Ukraina adalah karena sempat magang kerja di Kampus HAW, Hamburg. Di sana ia  waktu itu mengorganisir dengan cara melalui situs dan media sosial. “Dengan bantuan teman saya, Martha, kami membuka informasi dalam tiga bahasa: Bahasa Jerman, Inggris, dan Ukraina. Karena ada juga pengungsi-pengungsi yang tinggal di Ukraina, tetapi mereka tidak bisa berbahasa Ukraina. Karena ada juga, misalnya, dari Kedutaan Besar, atau orang-orang asing yang tinggal di Ukraina. Jadi, kita sengaja memakai bahasa Inggris juga. Jadi, dalam tiga bahasa,” ungkapnya. Lalu, mereka bisa mendaftarkan diri.

Dari situ Fransiska dan kawan-kawannya tahu jumlah mereka dan kebutuhannya, “Supaya bantuannya tepat Lalu, saya juga ada posting di Facebook, media sosial lainnya. Di Instagram saya juga kirim ke orang-orang, seperti biasa dengan tiga bahasa ini: Inggris, Jerman, dan bahasa Ukraina. Supaya lebih tepat sasaran untuk orang-orang yang ingin membantu dan orang-orang yang membutuhkan bantuan,” tambahnya.

Banyak WNI membantu

Banyak orang Indonesia yang tinggal di Jerman turut membantu, namun sebagian diaspora Indonesia  tidak tahu bagaimana caranya.”Jadi dengan menghubungi saya, mereka lebih tepat sasaran, bisa mengirim barang ke saya atau langsung ke penampungan-penampungan. Saya beri alamat-alamatnya,” kata Fransiska.

Fransiska mengakui banyaknya tantangan dalam menyalurkan bantuan. “Kesulitannya dalam bahasa juga. Hanya beberapa orang yang bisa menerjemahkan. Jadi, ada juga yang bisa bahasa Inggris, mereka lalu menerjemahkan,” ujarnya. Kemudian juga dalam pengiriman barang, “Ada barang-barang tertentu yang tidak boleh dikirim lagi, seperti selimut dan baju karena sudah terlalu banyak,” katanya lebih lanjut. Banyak kebiasaan orang Jerman, yang ingin mengosongkan lemari baju mereka, demikian menurut Fransiska.”Jadi sekalian. Mereka terkadang berpikir: daripada saya mengeluarkan baju-baju yang tidak muat lagi, tidak saya perlukan lagi, tidak pakai, lebih baik saya kasih ke pengungsi. Padahal sebenarnya ini sudah banyak sekali. Mereka lebih membutuhkan makanan, mungkin selimut tidak apa-apa, obat-obatan mereka butuh,” tandas perempuan yang bermukim di Hamburg ini.

“Saya juga pernah membantu juga di penampungan anak-anak pengungsi dari Timur Tengah. Timur Tengah itu banyak sekali, ada Suriah, ada Afganistan juga, ada pengungsi dari Afrika Utara juga. Dan mereka ini datang ke sini benar-benar tidak bisa bahasanya sama sekali. Mereka itu mempunyai huruf yang alfabetnya berbeda dengan latin. Jadi, mereka benar-benar harus belajar ‘abcd’ lagi. Dan saya kebetulan terlibat dengan anak-anak imigran yang datang ke Jerman dan harus mengajarkan mereka menulis dengan huruf latin, mengajarkan mereka bahasa Jerman dan bahasa Inggris juga karena hanya sedikit juga yang datang ke sini yang bisa berbahasa Inggris,” ungkap Fransiska.