Blog

losandes.biz: Dua tahun JokowiMaruf korban pelanggaran HAM berat masa lalu Menyerah dari tekanan terduga pelanggar saya sangat kecewa terduga


Dalam era yang terus berkembang dengan pesat, informasi telah menjadi komoditas yang tak ternilai harganya. Dari revolusi digital hingga transformasi teknologi, dunia kita kini tenggelam dalam lautan informasi yang tak pernah kering. Artikel ini mengajak kita untuk melangkahkan kaki ke dalam kompleksitas tatanan informasi saat ini, mengeksplorasi tantangan dan peluang yang muncul dalam mengelola dan memahami gelombang informasi yang terus menggulung. Dari algoritma cerdas hingga arus berita yang tak kenal lelah, mari kita telaah bersama bagaimana kita dapat menjadikan informasi sebagai alat untuk mendobrak batasan dan memahami dunia di sekitar kita dengan lebih baik.

Berikut adalah artikel atau berita tentang Harian losandes.biz dengan judul losandes.biz: Dua tahun JokowiMaruf korban pelanggaran HAM berat masa lalu Menyerah dari tekanan terduga pelanggar saya sangat kecewa terduga yang telah tayang di losandes.biz terimakasih telah menyimak. Bila ada masukan atau komplain mengenai artikel berikut silahkan hubungi email kami di [email protected], Terimakasih.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/IDHAD ZAKARIA

Keterangan gambar,

Sejumlah mahasiswa melakukan aksi menuntut Jaksa Agung untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM Berat masa lalu, di Purwokerto, Jawa Tengah, Jumat (10/09)

Salah satunya dilihat dari negara yang dianggap semakin abai terhadap kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu, menurut catatan Komisi untuk orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).

Korban pelanggaran HAM 1965 Bedjo Untung dan keluarga korban peristiwa Semanggi I tahun 1998, Sumarsih, sependapat dengan penilaian KontraS.

Mereka menyatakan kekecewaan dengan kepemimpinan Jokowi yang menyerah pada tekanan terduga pelanggar HAM berat dan tidak mampu menghadirkan pengadilan ad hoc.

Mereka menyebut, Jokowi justru menjamin dan melindungi para terduga pelaku dengan memberikan jabatan di pemerintahan.

KontraS: ‘Situasi lebih menyulitkan dan menyeramkan’

Sumber gambar, ANTARA/AKBAR NUGROHO GUMAY

Keterangan gambar,

Presiden Joko Widodo berpidato usai dilantik menjadi presiden periode 2019-2024 di Gedung Nusantara, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (20 Oktober 2019).

Komitmen Jokowi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu diungkap dalam sejumlah kesempatan.

Kemudian, dalam debat Pilpres 2019, Jokowi bersama Ma’ruf Amin mengakui penyelesaian HAM berat masa lalu belum selesai, dan berkomitmen jika terpilih untuk menuntaskan persoalan tersebut.

Tidak hanya itu, saat hari HAM Sedunia Desember lalu, Jokowi kembali berjanji akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Kemudian, disambung dengan pidato Jokowi di Rapat Kerja Kejaksaan Agung 14 Desember 2020 lalu yang direspons dengan pembentukan Satuan Tugas Pelanggaran HAM Berat.

Dia menyebut, kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu semakin “berkarat” dan mengalami kemunduran di era Jokowi – bahkan lebih “meyeramkan” dibandingkan periode sebelumnya.

Sajali mencontohkan, Jokowi mengangkat para terduga pelanggar HAM berat masa lalu menjadi pejabat di lingkarannya.

“Kemudian, dalam dua tahun terakhir ini, Jokowi memberikan gelar bintang jasa utama kepada Eurico Guterres yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat di Timor Leste. Lalu dua anggota Tim Mawar (penculik aktivis 1998) direkrut sebagai pejabat eselon di Kementerian Pertahanan,” kata Sajali.

Sajali juga mengatakan kini tidak ada lagi agenda penuntasan pelanggaran HAM berat di Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2021 – 2025 dan Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa tak kunjung diratifikasi.

tahun 2019 pernah mengungkapkan, mayoritas masyarakat menilai pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin kesulitan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu karena ingin menjaga harmonisasi politik atau nuansa politis.

Suara korban dan keluarga korban: Semakin mengecewakan

Sumber gambar, TRUTH FOUNDATION

Keterangan gambar,

Bedjo Untung ketika menerima Human Rights Award dari Truth Foundation di Seoul, Korea Selatan, 26 Juni 2017.

Korban pelanggaran HAM berat pada 1965/1966, Bedjo Untung mengatakan, tujuh tahun menjabat, Jokowi tidak berbuat apa-apa dalam penyelesai pelanggaran HAM masa lalu.

“Sama sekali (tidak membawa perubahan), maka menurut saya, Jokowi justru menyerah dari tekanan orang-orang terduga pelanggar HAM berat. Terus terang saya sangat kecewa terduga pelaku dapat jabatan. Saya memilih dia sebagai presiden tapi tidak berbuat apa-apa untuk kami para korban,” kata Bedjo.

Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) itu bercerita, bahkan hingga kini ia dan para korban masih mendapatkan persekusi.

Sumber gambar, OKI BUDHI/BBC INDONESIA

Keterangan gambar,

Sumarsih, ibu dari korban peristiwa penembakan Semanggi I tahun 1998.

“Janji tinggal janji, pemerintahan Jokowi terlihat semakin mengecewakan dan semakin melindungi para penjahat HAM masa lalu,” katanya.

Hingga kini, kata Sumarsih, pengadilan ad hoc untuk mengadili para pelaku tak kunjung terlaksana.

Sumarsih mengatakan, upaya pemerintah mencari jalan di luar jalur hukum seperti yang dilakukan Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM Berat (UKP-PPHB), bukan sebuah jawaban dan penyelesaian.

‘Kemuduran penyelesaian HAM masa lalu’

Sementara itu pengamat HAM, Imdadun Rahmat, mengatakan atensi Jokowi dalam isu HAM di periode kedua mengalami kemunduran jika dibandingkan dengan periode pertama.

“Masih ada keinginan pemerintah mencari penyelesaian, meskipun tidak ideal, bukan melalui pengadilan HAM. Tapi paling tidak mencoba mencari cara, seperti membuat komite dan mencari jalan alternatif. Pembicaraan Menko Polhukam dengan Komnas HAM cukup intensif,” katanya.

“Tapi periode kedua, saya lihat sama sekali tidak ada tindak lanjut, malah mengalami kemunduran dan hilang. Tapi jika dibandingkan dengan sebelumnya lagi, Presiden SBY tidak ada jejak yang bisa dicatat terkait terobosan masalah HAM,” katanya.

Sementara itu, Komisioner Komnas HAM periode 2007-2012, Ridha Saleh mengatakan, tak kunjung selesainya kasus HAM masa lalu disebabkan karena pengaruh politik.

“Masalah ini dibawa ke ranah politik yang menyebabkan tidak dapat diselesaikan pemerintah sekarang dan sebelumnya karena diduga melibatkan petinggi negara,” katanya.

“Sehingga muncul asumsi, jika diselesaikan bisa menganggu situasi politik nasional. Ini alasan sehingga pemerintah enggan menyelesaikan,” kata Ridha.

Faktor kedua, tambah Ridha, karena belum ada titik temu dalam proses penyelesaian, apakah menggunakan pendekatan lunak dengan rekonsiliasi atau membawa ke pengadilan.

“Saya sulit membandingkan rezim dulu dan sekarang karena sama-sama tidak menunjukkan langkah nyata, jadi kesimpulannya sama saja,” ujarnya.

Aria mencontohkan kebebasan berekspresi di media sosial yang cenderung mengungkapkan caci maki dan hujatan.

“Kalau di negara lain sudah diberangus, tapi di sini masih baik-baik saja, kecuali yang bermanufer dengan kegiatan politis, dan membahayakan demokrasi,” kata Aria.

Indeks demokrasi Indonesia tahun 2020 mencapai titik terendah dalam 14 tahun terakhir dan cenderung menurun di era Jokowi.

Menurut laporan The Economist Intelligence Unit (EUI), skor indeks demokrasi Indonesia adalah 6,3 pada 2020 atau menduduki peringkat 64 dunia. Indeks demokrasi Indonesia mencapai puncak pada 2015 dengan skor 7,03.