Blog

losandes.biz: Internet Kebohongan dan Revolusi Data


Dalam era yang terus berkembang dengan pesat, informasi telah menjadi komoditas yang tak ternilai harganya. Dari revolusi digital hingga transformasi teknologi, dunia kita kini tenggelam dalam lautan informasi yang tak pernah kering. Artikel ini mengajak kita untuk melangkahkan kaki ke dalam kompleksitas tatanan informasi saat ini, mengeksplorasi tantangan dan peluang yang muncul dalam mengelola dan memahami gelombang informasi yang terus menggulung. Dari algoritma cerdas hingga arus berita yang tak kenal lelah, mari kita telaah bersama bagaimana kita dapat menjadikan informasi sebagai alat untuk mendobrak batasan dan memahami dunia di sekitar kita dengan lebih baik.

Berikut adalah artikel atau berita tentang Harian losandes.biz dengan judul losandes.biz: Internet Kebohongan dan Revolusi Data yang telah tayang di losandes.biz terimakasih telah menyimak. Bila ada masukan atau komplain mengenai artikel berikut silahkan hubungi email kami di [email protected], Terimakasih.

Jakarta

Seorang perempuan belum lama ini mengunggah postingan menarik di grup Facebook Info Cegatan Jogja (ICJ). Dalam unggahan tersebut, si perempuan menceritakan kondisi rumah tangganya; sang suami menurut penuturannya hanya sibuk memancing dan mengurus burung daripada berusaha menutupi kebutuhan rumah tangga. Sang istri yang sehari-hari bekerja sebagai pekerja pabrik menjadi tulang punggung keluarga karena suami yang menganggur. Keluhan yang dilontarkan si istri menyita perhatian publik hingga dikomentari lebih dari 51 ribu.

Melihat fenomena ini, saya teringat buku karya Seth Stephens-Davidowitz berjudul Everybody Lies: Big Data dan Apa yang Diungkapkan Internet tentang Siapa Kita Sesungguhnya (2019). Dalam buku tersebut, Davidowitz menyebut bahwa kebanyakan orang umumnya pembohong ketika di dunia nyata dan lebih jujur saat berada di dunia maya.

Argumen Davidowitz didasarkan analisisnya atas jutaan data dari pencarian di internet di seluruh dunia. Menurut analisis tersebut, berbagai pengetahuan yang dipahami dan diyakini dalam hidup keseharian berbanding terbalik dengan yang terdapat di dunia maya. Banyak orang yang justru melakukan pencarian di internet untuk sesuatu yang dilarang atau bertentangan dengan standar moral yang berlaku sehari-hari.

Hal ini menjadi pertanyaan tersendiri, mengapa dalam hidup sehari-hari di mana standar moral tidak mengakui hubungan seksual sedarah, tapi justru model hubungan demikianlah yang menjadi favorit. Melalui penelusurannya, Davidowitz berpendapat bahwa untuk kebanyakan orang, internet adalah tempat yang paling aman dan nyaman untuk mengekspresikan dirinya secara leluasa. Kondisi itu terjadi karena dalam hidup sehari-hari, banyak faktor seperti budaya, politik, hingga ekonomi yang kerap membatasi seseorang untuk mencurahkan apa yang ia rasa dan pikirkan.

Hubungan seksual sedarah, bagi standar moral tertentu bisa dikatakan keliru. Namun hal itu tidak bisa menutup aktivitas orang-orang yang memang selera seksualnya mengarah ke sana. Mereka yang seleranya terbatasi karena bertentangan dengan moral masyarakat, menyalurkan apa yang dirasa ke internet.

Situasi tersebut memaksa si perempuan untuk menyembunyikan apa yang ia rasa dan pikirkan tanpa bisa disalurkan sebagaimana mestinya. Hal itulah kemudian yang menyebabkan dirinya mencari ruang alternatif untuk menceritakan permasalahannya, tanpa harus memikirkan berbagai prasangka negatif jika ia bercerita langsung di luar dunia maya. Grup ICJ lalu dipilih dan menjadi tempatnya menumpahkan uneg-unegnya selama ini.

Contoh kasus seperti yang ada dalam grup ICJ di atas dapat dijumpai pula di banyak platform digital lain. Situs seperti Quora atau theasianparent.com merupakan dua situs yang kerap memuat berbagai cerita mengenai permasalahan keseharian yang kadang cukup sensitif apabila dibicarakan secara langsung. Bila kita membuka dua situs tersebut, akan mudah menjumpai banyak kisah personal, entah yang berhubungan dengan rumah tangga, seperti perselingkuhan, suami istri yang hubungannya renggang, urusan ranjang, atau tema lain. Semua tumpah ruah dalam situs tersebut.

Pada titik itu, pendapat Davidowitz bahwa orang kebanyakan cenderung berbohong dalam dunia nyata ada benarnya. Kita menampilkan wajah seakan-akan kita tidak menyukai sesuatu, padahal nyatanya suka. Kita menunjukkan wajah seakan-akan rumah tangga tidak ada masalah, padahal sebaliknya. Inilah kenyataan hari ini. Internet menjadi tempat terbaik di mana manusia bisa menampakan dirinya yang jauh berbeda dengan yang muncul di dunia nyata.

Berkembangnya fenomena di atas merupakan keniscayaan dari perkembangan teknologi informasi, yang oleh Eric Schmidt dan Jared Cohen disebut sebagai The New Digital Age. Dengan pesatnya kemajuan internet beserta segala platform digitalnya, membuat hampir semua orang di muka bumi saling berinteraksi dalam jagat digital. Merujuk pada data per September 2021, pengguna tiga media sosial yang berada di bawah naungan Facebook inc, seperti Whatsapp, Instagram, dan Facebook sudah berjumlah 6,3 miliar. Ini belum ditambah media sosial lain seperti Twitter atau Youtube yang penggunanya juga besar.

Data dari Facebook Group saja sudah menunjukkan bagaimana daya jangkau internet yang sangat luar biasa sekarang ini. Daya jangkau yang seluas itu pasti akan mempengaruhi perilaku orang-orang yang menggunakannya. Christian Fuchs dalam bukunya berjudul Digital Labour and Karl Marx (2014) mengatakan, dulu orang-orang menggunakan internet atau berselancar di dunia maya sebagai bentuk hiburan dari rutinitas sehari-hari. Kini dengan berkembangnya internet, memakai media sosial justru menjadi aktifitas rutin, bukan lagi semata hiburan. Perubahan pola ini nantinya akan membuat kita tidak bisa lepas dari internet dan media sosial.

Berbagai cerita personal yang diungkapkan banyak orang di berbagai situs seperti Quora menjadi gambaran konkret situasi tersebut. Dengan internet, semua masalah yang sifatnya personal bisa berubah menjadi konsumsi publik ketika diunggah ke dunia maya.

Satu sisi kondisi ini berbahaya karena ruang privat akan semakin tergerus. Tapi di sisi lain, limpahan data yang tercatat di jagat digital dapat digunakan sebagai alat baru untuk membaca dan menghasilkan solusi atas berbagai persoalan kemanusiaan. Mengapa demikian? Karena seperti diungkap Davidowitz, pengguna internet biasanya cenderung berbohong ketika di dunia nyata dibanding di dunia maya.

Di banyak tempat, penggunaan limpahan data sebagai basis penyusunan kebijakan atau keputusan dalam lembaga telah mulai dilakukan. Dalam dunia sepakbola, mulai banyak kesebelasan yang mengontrak ahli data untuk menganalisis data para pemain secara detil selama periode tertentu. Data itu kemudian dipakai oleh staf kepelatihan untuk menyusun strategi dalam pertandingan. Cara seperti ini dapat pula dipakai untuk bidang-bidang lain sesuai kebutuhan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

(mmu/mmu)