Blog

losandes.biz: Pemilu Polarisasi Politik dan Belenggu Presidential Threshold


Dalam era yang terus berkembang dengan pesat, informasi telah menjadi komoditas yang tak ternilai harganya. Dari revolusi digital hingga transformasi teknologi, dunia kita kini tenggelam dalam lautan informasi yang tak pernah kering. Artikel ini mengajak kita untuk melangkahkan kaki ke dalam kompleksitas tatanan informasi saat ini, mengeksplorasi tantangan dan peluang yang muncul dalam mengelola dan memahami gelombang informasi yang terus menggulung. Dari algoritma cerdas hingga arus berita yang tak kenal lelah, mari kita telaah bersama bagaimana kita dapat menjadikan informasi sebagai alat untuk mendobrak batasan dan memahami dunia di sekitar kita dengan lebih baik.

Berikut adalah artikel atau berita tentang Harian losandes.biz dengan judul losandes.biz: Pemilu Polarisasi Politik dan Belenggu Presidential Threshold yang telah tayang di losandes.biz terimakasih telah menyimak. Bila ada masukan atau komplain mengenai artikel berikut silahkan hubungi email kami di [email protected], Terimakasih.

Jakarta

Jajak pendapat Litbang Kompas, 19 – 21 Juni 2023 membenarkan kekhawatiran publik menyangkut potensi polarisasi politik menjelang dan saat Pemilu 2024. Responden yang khawatir menembus 56 persen. Ini tak jauh berbeda dengan hasil jajak pendapat serupa, 23 – 24 Agustus 2018 (jelang Pemilu 2019), di mana 57,6 persen responden mengakui terjadi polarisasi di masyarakat.

Megawati merepresentasikan kubu nasionalis, sedangkan BJ Habibie yang presiden incumbent dan meracik ICMI 1990 serta punya bendera Golkar mewakili Islam. Ketakutan atas potensi benturan dua “gajah” itu dalam politik Indonesia mengilhami Amien Rais membentuk Poros Tengah. Ini sebuah poros politik yang mencari jalan tengah atas sikut-sikutan antara kubu nasionalis dan Islam. Dan, Amien dkk sukses mengantar sosok Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai capres dalam pemilihan lewat MPR.

Ditambah faktor ditolaknya pertanggungjawaban Habibie oleh MPR, praktis peluang Habibie maju dalam Pilpres 1999 sirna. Alhasil bukan Habibie yang bertarung dengan Megawati, melainkan Gus Dur. Dialah sosok yang di dalam dirinya tertanam kuat citra Islam dan nasionalis. Itulah jalan tengah dari Poros Tengah yang digagas Amien Rais.

Gus Dur menamai kabinetnya sebagai Kabinet Persatuan Nasional. Itulah rekayasa politik yang sukses mencairkan polarisasi di pemilu masa transisi. Sebuah eksemplar yang menandai dan menegaskan bahwa politik Indonesia itu beragam, majemuk. Cara menanggapinya pun perlu kelenturan, kadang tak umum, tapi solutif.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Tetap Membayangi

Adapun partai lainnya terbelenggu presidential threshold, yaitu ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden yang telah dinaikkan sejak Pemilu 2009. Inilah ketentuan yang membelenggu, karena cuma partai atau gabungan partai dengan sekurang-kurangnya memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional yang boleh mencalonkan presiden dan wakil presiden.

Harus Ditinjau Ulang

Selepas Pemilu 2004, SBY harus merangkul Golkar yang ketika itu berganti nakhoda dari Akbar Tanjung ke Jusuf Kalla. Keberadaan Jusuf Kalla sebagai wapres terlalu mempesona Golkar, yang awalnya bergabung dalam kekuatan oposisi menjadi masuk kabinet (pemerintahan). Dalam pada itu, institusionalisasi kekuatan oposisi untuk menjalankan fungsi check and balance gagal diteruskan Akbar yang kehilangan kendali atas Golkar.

Republik, Presiden, dan Presidensialisme adalah bangunan yang kita hidupi. Tapi presidensialisme di Tanah Air sesungguhnya presidensialisme seolah-olah. Presiden terpilih tak pernah benar-benar dapat membentuk pemerintahan tanpa mempertimbangkan konfigurasi politik di DPR (parlemen). Itulah presidensialisme rasa parlementarisme.

Di bawah Jokowi, presidensialisme yang dianut Indonesia cuma menyisakan PKS dan Demokrat sebagai oposisi sehingga tak pernah sanggup mengimbangi partai-partai pemilik kursi DPR yang terafiliasi dengan koalisi pemerintah.

Bandingkan dengan presidential threshold yang di awal sudah dipatok 15 persen kursi DPR, dan kemudian 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional. Komparasi ini jelas-jelas jomplang, atau tidak koheren?

Dengan seluruh penjelasan tadi, jelas dan terang presidential threshold harus ditinjau ulang. Soal ini tak bisa lagi diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi yang sudah belasan kali menolak uji materi pasal presidential threshold. Justru DPR, dan juga pemerintah, sebagai aktor aktif pembuat undang-undang yang harus didorong melakukan perubahan yang mendasar.

Konstitusi, UUD 1945 dan hasil amandemennya, tidak mengatur kuota atau ambang batas itu. Sebaliknya perintah konstitusi cuma menegaskan bahwa pencalonan presiden dan wakil presiden hanya melalui partai atau gabungan partai politik.

Kalau tidak sanggup dan emoh menghapus sama sekali, presidential threshold harus dilonggarkan hingga di bawah 10 persen. Dengan cara itu, siapa pun yang bermimpi memimpin Indonesia punya peluang lebih besar maju pilpres. Tugas penting lainnya: mengurangi potensi polarisasi politik yang terus mengancam persatuan bangsa setiap kali digelar pesta elektoral.

Moh. Samsul Arifin mantan Produser Eksekutif Beritasatu, Supervisor NewsBuzz, kini aktif di Koperasi IDE

(mmu/mmu)