Blog

losandes.biz: Tahun Politik dan Kacamata Kuda


Dalam era yang terus berkembang dengan pesat, informasi telah menjadi komoditas yang tak ternilai harganya. Dari revolusi digital hingga transformasi teknologi, dunia kita kini tenggelam dalam lautan informasi yang tak pernah kering. Artikel ini mengajak kita untuk melangkahkan kaki ke dalam kompleksitas tatanan informasi saat ini, mengeksplorasi tantangan dan peluang yang muncul dalam mengelola dan memahami gelombang informasi yang terus menggulung. Dari algoritma cerdas hingga arus berita yang tak kenal lelah, mari kita telaah bersama bagaimana kita dapat menjadikan informasi sebagai alat untuk mendobrak batasan dan memahami dunia di sekitar kita dengan lebih baik.

Berikut adalah artikel atau berita tentang Harian losandes.biz dengan judul losandes.biz: Tahun Politik dan Kacamata Kuda yang telah tayang di losandes.biz terimakasih telah menyimak. Bila ada masukan atau komplain mengenai artikel berikut silahkan hubungi email kami di [email protected], Terimakasih.

Jakarta

Siang itu saya sekeluarga ditraktir makan siang oleh Miss Culinary 2023 dan mamanya. Saat Janet, sang miss culinary, berulang tahun, saya tidak bisa datang. Sebagai gantinya, kami makan dua keluarga di sebuah resto. Meskipun sudah beberapa kali makan bersama, saya masih dibuat takjub oleh ibu dan anak yang begitu menyukai rasa pedas.

Bertolak belakang dengan saya dan istri yang tidak terlalu berani mengecap makanan pedas, ibu dan anak ini justru menambahkan potongan-potongan cabe rawit ke dalam setiap sendok makan mereka. Ada makanan yang bagi saya dan istri sudah pedas, bagi mereka seakan tidak ada rasanya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Mati Rasa

Jika rasa pedas justru membuat ketagihan dan lidah bergoyang, makian pedas membuat kita mati rasa. Itulah salah satu pelajaran berharga yang saya dapat dari buku Jonathan Haidt berjudul The Righteous Mind: Why Good People are Divided by Politics and Religion. Haidt dengan cerdas mengamati ‘perang makian’ antara Partai Republik dan Demokrat di Amerika Serikat.

Meskipun dianggap (lebih tepat menganggap diri) negara paling demokratis di dunia, ternyata cara mereka memilih presiden pun diwarnai saling caci, bahkan saling hantam. Peristiwa penyerbuan Gedung Capitol yang barbar dari para pendukung fanatik Trump sampai sekarang masih terbayang di ingatan.

Seperti kata istri, meskipun saya bukan warga negara AS dan tentu saja tidak bisa ikut voting, namun sampai saat saya mengetik kolom ini, email dari tim Trump tetap membombardir surel saya secara teratur. Entah dari mana mereka mendapat alamat email saya karena saya tidak pernah menge-share-nya. Pikiran yang lurus (dan tentu saja tulus) dari istri saya bisa mengembalikan saya ke akal sehat saya.

Kata-kata yang digunakan dalam komentar itu –meskipun memakai kata logika, nalar, akal sehat, dan sebagainya– yang keluar justru kebalikannya. Komentar itu penuh dengan emosi yang membabi buta –jika bukan di kelompok kami, pendapatnya dianggap salah– justru menunjukkan penulisnya mengidap logical fallacy yang parah. Bagaimana tidak parah jika objektivitas dihilangkan sama sekali sehingga cenderung hanya mengagungkan keunggulan idolanya sambil menutup mata terhadap kelemahannya yang segede gaban. Adu gagasan beralih ke adu jotosan.

Biang Kerok Perpecahan

Tiba-Tiba Peduli

Untuk memahami pembelahan pemilih di AS, juga di Indonesia, mari kita tengok sebentar Moral Foundations Theory yang dipakai Haidt untuk menjelaskan fenomena ini. Jonathan Haidt, Craig Joseph, dan Jesse Graham membangun Teori Landasan Moral ini dari pakar antropologi kultural Richard Shweder. Pengembangan inilah yang menghasilkan buku yang telah saya sebutkan di atas. Teori ini mengusulkan enam landasan: Care/Harm, Fairness/Cheating, Loyalty/Betrayal, Authority/Subversion, Sanctity/Degradation, Liberty/Oppression.

Kesetiaan/pengkhianatan sudah ‘dinubuatkan’ oleh William Shakespeare. Menurut pujangga Inggris yang karyanya saya teliti untuk tesis saya dulu, di setiap ‘Julius Caesar’ selalu ada ‘Brutus’ di sampingnya. Kelompok relawan yang mendukung capres tertentu bisa saja melompat pagar dan mendukung calon tetangga karena diduga tidak mendapatkan pekerjaan di rumah orang yang didukungnya. Bagaimana setelah diberi jatah? Bisa berubah lagi.

Kebenaran motivasi seseorang sulit dibuktikan dalam tempo singkat. Waktu yang bisa menjawab. Otoritas versus subversi pun bisa ditafsirkan seenak udel pendukungnya yang sudah memakai (atau dipakaikan) kacamata kuda. Saat melihat pameran ArtJog di Jogja belum lama ini, ada instalasi menarik dengan tema utama kacamata kuda.

Kesucian dan keluhuran bangsa Indonesia yang dikenal luas bahkan sampai ke mancanegara justru dirusak oleh degradasi moral dan dekadensi spiritual bangsa sendiri. Agama yang seharusnya dipakai untuk meluruskan yang bengkok justru bisa membengkokkan jalannya pesta demokrasi dengan pendangkalan bahkan pemutarbalikan ayat-ayat kitab suci yang ditafsirkan sesuai kehendaknya sendiri atau bisa diduga pesanan ‘konsultan politik’.

Sebagai perbandingan, Trump yang dianggap tidak peduli agama pun dalam menjalankan ambisi bisnis dan politiknya tiba-tiba saja bisa memakai halaman bahkan gedung gereja untuk memikat pendukungnya yang beriman secara konservatif. Mereka yang mabuk agama tentu belum pulih kesadaran dan nalarnya.

(mmu/mmu)