Blog

losandes.biz: Budaya Literasi dan Penyalahgunaan Politik Identitas Pemilu 2024


Dalam era yang terus berkembang dengan pesat, informasi telah menjadi komoditas yang tak ternilai harganya. Dari revolusi digital hingga transformasi teknologi, dunia kita kini tenggelam dalam lautan informasi yang tak pernah kering. Artikel ini mengajak kita untuk melangkahkan kaki ke dalam kompleksitas tatanan informasi saat ini, mengeksplorasi tantangan dan peluang yang muncul dalam mengelola dan memahami gelombang informasi yang terus menggulung. Dari algoritma cerdas hingga arus berita yang tak kenal lelah, mari kita telaah bersama bagaimana kita dapat menjadikan informasi sebagai alat untuk mendobrak batasan dan memahami dunia di sekitar kita dengan lebih baik.

Berikut adalah artikel atau berita tentang Harian losandes.biz dengan judul losandes.biz: Budaya Literasi dan Penyalahgunaan Politik Identitas Pemilu 2024 yang telah tayang di losandes.biz terimakasih telah menyimak. Bila ada masukan atau komplain mengenai artikel berikut silahkan hubungi email kami di [email protected], Terimakasih.

SAMUEL Huntington mengatakan bahwa awal abad 21 adalah babak baru dari perbenturan peradaban, The Clash of Civilization, tema yang kemudian menjadi judul bukunya.

Menurut dia, fenomena Perbenturan Peradaban ini dengan mengurainya dalam beberapa ideologi besar di dunia ini: Peradaban Barat, Amerika Latin, Ortodox, Dunia Timur, Dunia Islam, Peradaban Afrika Sub-Sahara, dan beberapa jenis “Peradaban” dan “Dunia” menurut kategorisasi yang dibuat Huntington.

Sehingga menurut dia, abad 21 akan memunculkan kembali kebanggaan hingga fanatisme beridentitas dalam politik.

Tragedi Wall Trade Center, 11 September 2001, merupakan penghinaan dan penghancuran terhadap “identitas Amerika”, yang untuk memulihkannya kembali dilakukan dengan jalan aksi kemiliteran atau perang, dengan musuh bebuyutannya, yakni Irak.

Jika dianalisa, hal ini membawa kembali ingatan pada wacana konflik peradaban dari seorang intelektual bernama Samuel Huntington (1996:2000), yang menciptakan masing-masing peradaban, yang mana mereka merasa eksistensi identitasnya ditantang untuk berkonflik dengan jalur politik identitas.

Memang teori Samuel Huntington tersebut telah menjadi gelombang dan momok yang nyata kebangkitan politik identitas.

Sebut saja, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad, yang memenangkan pemilu dengan mengandalkan sentiment ras dan pribumi.

Jair Bolsonaro, politikus sayap kanan Brasil yang memenangkan pemilu, Rodrigo Duterte yang kerap menyatakan pendapat-pendapat kontroversial dan keresahan berhasil menang dalam pemilu Filiphina.

Kemudian Giuseppe Conte (Five stars), gerakan populisme yang meraih kemenangan pemilu Italia, 2018 lalu.

Namun demikian, kemenangan yang diraih oleh beberapa politisi yang disebut di atas, tidak terlepas dari politik identitas, populisme yang fanatik, hoax yang masif, fitnah, menebar ketakutan, pesimisme, saling memaki, menebar kebencian dan lain-lain.

Ada beberapa poin yang dapat dianalisa dan diungkapkan, mengapa strategi tersebut tidak berhasil dalam kontestasi demokrasi di Indonesia, bahkan dapat disebut gagal total. Berikut ini poin-poin penjabarannya:

Pertama, karena Indonesia memiliki social capital yang luar biasa. Berbeda dengan negara-negara lain.

NU dengan jumlah warganya 91,2 juta jiwa telah mengharmonisasikan hubungan agama dan negara. Jargon hubbul wathon minal iman (nasionalisme bagian dari iman), adalah di antara kuncinya.

Kedua, karena ikatan dan rasa kebangsaan di kita cukup kuat sehingga identitas asal atau primodial seperti agama, suku, ras dan golongan tidak laku sebagai “jualan” dalam politik electoral.

Ketiga, politik identitas di seluruh dunia ada dan tidak akan bisa hilang, tapi lama kelamaan perannya menurun pada tataran kuantitas karena kedewasaan dan kematangan berdemokrasi di tiap negara, inklusifisme antargolongan terus meingkat, melumerkan blok-blok budaya antargolongan.

Keempat, narasi politik identitas yang dilontarkan pada pemilu 2019 lalu, cepat dilawan oleh kubu Jokowi dengan menjalankan strategi kontra-black campaign.

Sehingga pembicaraan di ruang publik mengenai politik identitas dengan cepat diredam, walau masih saja ada suara-suara lantang yang mendukung membabi buta narasi politik identitas.

Kelima, saat pemilu 2019, penggunaan isu agama sebagai alat untuk meraih dukungan kelompok Islam, melalui Ijtima Ulama II, telah terdegradasi sendiri, di samping terjadi perpecahan.

Ketujuh, adalah peran pemerintah sendiri yang saat ini responsif terhadap gejala-gejala yang mengarah kepada isu-isu politik identitas, penyebaran hoax, fitnah, dan lain-lain.

Peran Jokowi bersama K.H Ma’ruf Amin dan timnya, cukup signifikan dalam meredam dan membloking meluasnya politik identitas saat itu.

Sehubungan dengan itu, apakah politik identitas di Pemilu 2024 masih menjadi isu-isu primadona?

Terlebih saat ini penyebaran isu-isu politik identitas yang bersifat destruktif begitu cepat menyebar sulit sekali dibendung karena kemajuan teknologi, khususnya perkembangan pesat internet atau dunia maya sebagai ruang publik dan tidak mampu menjadi sekat-sekat batas atau filter sosial-politik yang dikonsumsi mentah-mentah oleh masyarakat.

Bila dicermati dalam perkembangannya masyarakat kita sedikitnya sudah dua kali mengalami loncatan budaya (culture sock).

Pertama, dari budaya tradisional melompat ke audio visual, dari budaya audio visual yang kemudian sudah melompat lagi ke era kemajuan internet dan media sosial (medsos).

Artinya bangsa kita melewati fase membaca. Sehingga dalam hal ini masyarakat dalam mencerna isu-isu di medsos mudah sekali terprovokasi karena tidak memiliki wawasan dan pengetahuan yang cukup tentang asal-usul informasi atau sumber literasi isu yang akurat dan memadai.

Untuk itu dalam menghadapi persoalan-persoalan di pemilu atau pilpres tahun 2024, harus senantiasa mencari jalan agar lompatan budaya yang sudah terjadi menjadi percepatan yang positif.

Salah satunya harus dipersiapkan suatu strategi politik dengan melibatkan semua pihak, yakni mengubah loncatan budaya menjadi modal baru, yaitu dengan membangun budaya literasi, dalam artian: membangun kemampuan mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis.

Dengan demikian, setidaknya dapat sedikit menyumbang pencegahan secara politik penyalahgunaan politik identitas yang memiliki dampak destruktif dalam pemilu atau pilpres 2024 mendatang.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.