Blog

losandes.biz: Dari Ukraina untuk Indonesia


Dalam era yang terus berkembang dengan pesat, informasi telah menjadi komoditas yang tak ternilai harganya. Dari revolusi digital hingga transformasi teknologi, dunia kita kini tenggelam dalam lautan informasi yang tak pernah kering. Artikel ini mengajak kita untuk melangkahkan kaki ke dalam kompleksitas tatanan informasi saat ini, mengeksplorasi tantangan dan peluang yang muncul dalam mengelola dan memahami gelombang informasi yang terus menggulung. Dari algoritma cerdas hingga arus berita yang tak kenal lelah, mari kita telaah bersama bagaimana kita dapat menjadikan informasi sebagai alat untuk mendobrak batasan dan memahami dunia di sekitar kita dengan lebih baik.

Berikut adalah artikel atau berita tentang Harian losandes.biz dengan judul losandes.biz: Dari Ukraina untuk Indonesia yang telah tayang di losandes.biz terimakasih telah menyimak. Bila ada masukan atau komplain mengenai artikel berikut silahkan hubungi email kami di [email protected], Terimakasih.

PADA 4 Desember 1945, dalam sebuah konferensi pers, Perdana Menteri Sutan Sjahrir menyatakan bahwa campur tangan Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah jalan terbaik untuk memecahkan soal Indonesia dan kalau Belanda akan menempuh jalan kekerasan, niscaya tidak ada persetujuan yang akan dicapai. Untuk itu, Sjahrir mengirim surat dan dokumen-dokumen penting kepada Sidang Umum PBB yang pertama pada 10 Januari 1946 di Church House Westminster, London, Inggris. Dalam suratnya, Sjahrir menguraikan dan meminta agar masalah Indonesia dibicarakan dalam sidang. Keputusan yang akan diambil oleh sidang amat penting mengingat masalah Indonesia hanya dapat disetujui atau tidak untuk dibicarakan oleh Dewan Keamanan PBB, bergantung pada sidang tersebut.

Mengenai tuntutan Sjahrir tersebut, Menteri Luar Negeri Belanda, Eelco van Kleffens yang hadir dalam Sidang Umum PBB menerangkan kepada wartawan bahwa usul pihak Indonesia agar soal Indonesia dibicarakan dalam sidang Dewan Keamanan hanya dapat dilakukan jika usul itu didukung oleh satu negara anggota PBB.

Gayung pun bersambut. Pada 21 Januari 1946, Dmitry Manuilsky, ketua utusan Republik Soviet Sosialis Ukraina di PBB, untuk kali pertama mengajukan masalah Indonesia kepada Dewan Keamanan yang bersidang di London. Dalam suratnya kepada Ketua Dewan Keamanan, Manuilsky menyatakan bahwa keadaan di Indonesia membahayakan perdamaian dan keamanan dunia. Karenanya, dia mendesak Dewan Keamanan supaya mengambil tindakan sesuai Pasal 34 Piagam PBB, yaitu Dewan Keamanan dapat menyelidiki setiap pertikaian yang dapat mengancam perdamaian dan keamanan Internasional.

Menanggapi pernyataan kalangan resmi Belanda itu, Manuilsky mengatakan kepada Reuters (21 Januari 1946) bahwa dia mencampuri soal Indonesia karena mendapat banyak telegram dari kalangan pejuang Indonesia, yang meminta agar soal Indonesia segera dibawa ke sidang PBB. Dalam Sidang Umum PBB pada 25 Januari 1946, Manuilsky mendapatkan dukungan dari Edward Stettinius, utusan Amerika Serikat dan Abdel Hamid Badawy Pasha, utusan dari Mesir. Sehingga sidang memutuskan masalah Indonesia akan dibicarakan dalam sidang Dewan Keamanan pada 28 Januari 1946.

Dmitry Manuilsky, ketua utusan Republik Soviet Sosialis Ukraina di PBB. (sfmuseum.org).

Sidang Dewan Keamanan soal Indonesia berlangsung alot selama enam hari (7, 9-13 Februari 1946). Pada sidang pertama, wakil delegasi Belanda adalah Eelco van Kleffens yang didampingi oleh penasihat Mr. Zairin Zain dan Sumitro Djojohadikusumo. “Hal ini memang dibenarkan oleh Sumitro,” tulis Rusdhy Hoesein dalam Terobosan Sukarno dalam Perundingan Linggarjati. “Alasan mengapa hal tersebut dilakukan adalah karena sulitnya mengontak Sjahrir. Di samping itu, Indonesia tidak berhak menghadiri Sidang Dewan Keamanan PBB.” Sesudah sidang, Sumitro langsung terbang dari London ke Jakarta untuk melapor kepada pemerintah Republik Indonesia. Sumitro dan Zairin melaporkan secara resmi kepada Sjahrir pada 14 Maret 1946.

Meskipun mereka menghadiri Sidang Dewan Keamaman sebagai penasihat delegasi Belanda, namun “kedatangan mereka lepas dari segala perhubungan dengan pihak NICA, dan teristimewa bermaksud untuk melaporkan langsung kepada pemerintah Republik Indonesia tentang segala yang dialaminya di London, berhubung dengan politik dunia internasional mengenai Indonesia,” tulis Soeara Merdeka, 18 Maret 1946.

Sidang Dewan Keamanan mencoba mengusulkan sebuah resolusi. Namun, rancangan resolusi yang dibuat oleh delegasi Ukraina, Uni Soviet, dan Mesir, ditolak sidang. “Menurut Sumitro, hal in terjadi karena ketidakhadiran delegasi Indonesia dalam sidang,” tulis Rushdy.

Baca juga: Serba-serbi Chernobyl di Ukraina

Sedangkan yang tidak setuju adalah Prancis, Inggris, Belanda, Brazil, Mesir, dan Amerika Serikat. Tetapi, Mesir mengusulkan agar tentara Inggris tidak boleh menindas kaum pergerakan Indonesia dan harus ditarik setelah misinya selesai, serta perundingan Indonesia dan Belanda di Jakarta harus dilaporkan kepada Dewan Keamanan. Inggris dan Belanda tidak menerima usul Mesir tersebut.

Baca juga: Prahara Kharkiv di Ukraina

Upaya Ukraina mendapat sambutan baik dari Indonesia. Pada 13 Februari 1946, Persatuan Perjuangan yang diprakarsai Tan Malaka mengirimkan kawat kepada Manuilsky dan Andrei Vyshinsky (delegasi Uni Soviet di PBB). RRI Solo menyiarkan kawat tersebut:

“Saudara Manuilsky dan Vyshinsky. Persatuan Perjuangan Rakyat di Jawa yang mewakili 137 organisasi politik, sosial, ekonomi, dan ketentaraan, telah melihat bahwa ada persesuaian sikapnya dengan sikap yang saudara-saudara tunjukan dalam sidang PBB ketika membicarakan soal Indonesia. Maka dari hati 70 juta rakyat Indonesia yang berjuang mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan Tanah Airnya, diucapkan terima kasih yang tiada berhingga kepada saudara-saudara dan mengharap moga-moga saudara-saudara beroleh kemenangan di PBB.”

Pada 14 Februari 1946, Persatuan Perjuangan melakukan rapat raksasa di Alun-aun Utara Yogyakarta, kemudian dilanjutkan dengan pawai dan demonstrasi, yang diikuti oleh tentara dan badan-badan perjuangan. “Demonstrasi tersebut dimaksud sebagai pernyataan simpati kepada Ukraina dan Rusia dan penegasan tentang tuntutan untuk kemerdekaan 100%,” tulis Poeze.

Baca juga: Tan Malaka Menuntut Merdeka 100%

Ketika Ukraina mengusulkan soal Indonesia dibahas dalam sidang Dewan Keamanan PBB, sejak itu sengketa Indonesia-Belanda menjadi sengketa internasional sepenuhnya (a full blown international dispute).