Blog

losandes.biz: Islam Politik dan Demokrasi di Indonesia


Dalam era yang terus berkembang dengan pesat, informasi telah menjadi komoditas yang tak ternilai harganya. Dari revolusi digital hingga transformasi teknologi, dunia kita kini tenggelam dalam lautan informasi yang tak pernah kering. Artikel ini mengajak kita untuk melangkahkan kaki ke dalam kompleksitas tatanan informasi saat ini, mengeksplorasi tantangan dan peluang yang muncul dalam mengelola dan memahami gelombang informasi yang terus menggulung. Dari algoritma cerdas hingga arus berita yang tak kenal lelah, mari kita telaah bersama bagaimana kita dapat menjadikan informasi sebagai alat untuk mendobrak batasan dan memahami dunia di sekitar kita dengan lebih baik.

Berikut adalah artikel atau berita tentang Harian losandes.biz dengan judul losandes.biz: Islam Politik dan Demokrasi di Indonesia yang telah tayang di losandes.biz terimakasih telah menyimak. Bila ada masukan atau komplain mengenai artikel berikut silahkan hubungi email kami di [email protected], Terimakasih.

Gerakan politik Islam di Indonesia senantiasa menarik untuk dianalisis baik oleh ilmuwan politik dalam negeri maupun Asing. Intelektual politik Indonesia antara lain Nazaruddin Sjamsuddin, Syafi’i Maarif, Deliar Noor. Selain itu dari peneliti politik Asing antara lain yang dilakukan Herbert Feith, Geertz, J. Benda, Karl Jacson, William liddle, dan Hiroko Horikosi. Ketertarikan ilmuwan politik tersebut senantiasa berawal dari beberapa asumsi antara lain: pertama, Islam politik Indonesia berbeda pola gerakannya dengan Islam di berbagai Negara Islam. Islam politik Indonesia lebih menerima demokrasi tetapi kental dengan budaya lokal. Kedua, Islam sebagai agama yang dianut mayoritas masyarakat, sehingga memiliki power politik yang cukup besar. Dan Ketiga, Islam politik memiliki serentetan sejarah perjuangan dan perlawanan.

Secara makro eksistensi Islam politik dalam pembangunan politik bangsa tidak dapat dikesampingkan sebagaimana dikatakan peneliti senior LIPI, Taufik Abdullah bahwa peranan Islam dalam sejarah masyarakat-masyarakat di Indonesia sejak abad ke-15-terutama sejak abad ke-17 dan seterusnya –sangat besar. Islam merupakan kekuatan historis yang cukup besar dalam dinamika sejarah. Peneliti dan sejarawan lain Onghokhan menambahkan, “Sejak penyebaran agama Islamdi Indonesia, agama memainkan peranan penting. Bahkan pada abad ke-20, Islam tetap tampil sebagai ideologi walaupun sudah bercampur dengan ideologi-ideologi lain seperti nasionalisme sekuler, komunisme dan sosialisme.

Oleh karena itu, Umat Islam Indonesia lebih mudah menerima Demokrasi, karena demokrasi tidak berkaitan dan tidak bertentangan dengan aturan-aturan Fiqih dan tasawuf. Fenomena tersebut berbeda dengan kondisi Negara-negara Islam terutama di Timur Tengah. Negara-negara tersebut agak sulit menerima Demokrasi, mungkin disebabkan beberapa faktor antara lain: pertama, Demokrasi adalah faham Barat, dimana negara-negara Barat dianggap sebagai biang keladi kehancuran Khilafah Islamiyah di Turki sekitar tahun 1923, sehingga sampai sekarang masih banyak gerakan politik Islam yang ingin mengembalikan Khilafah Islamiyah seperti Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir. Kedua, ada gesekan peradaban dimana negara-negara Islam semasa berdiri Khilafah Islamiyah pernah berjaya, sehingga ilmuwan politik Amerika yakni Samuel Huntington mengeluarkan tesis perlu adanya dialog peradaban dan yang dimaksud adalah peradaban Timur dan Barat (Islam vs Barat).[1] Ketiga, belum selesainya masalah Palestina dan Israel. Gerakan Palestina melahirkan solidaritas negara-negara Islam Timur Tengah, sedangkan Israel melahirkan solidaritas negara-negara Barat.

Perbedaan yang sekaligus menjadi keunikan Islam Indonesia inilah yang senantiasa merangsang untuk diteliti dan dianalisis oleh para ilmuwan politik. Bahkan dengan munculnya gagasan Demokrasi bagi umat Islam Indonesia terjadi konsolidasi umat dengan terbentuknya Masyumi di awal kemenerdekaan RI yang pernah berjaya dan berkuasa dengan tokoh militannya Mohammad Natsir yang pada tahun 2008 dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden SBY. Masyumi sampai sekarang menjadi impian bagi setiap Partai politik Islam. Bahkan pasca jatuhnya rejim Orde Baru tidak sedikit Partai Islam mengatasnamakan penjelmaan Masyumi.

Islam Politik dalam Konstalasi Politik Nasional

Ciri-ciri gerakan Islam mulai berubah, dari pola komunal menjadi pola asosiasional dan solidaritas yang bersifat organis. Para pemimpinnya tidak lagi dari pedesaantetapi dari kelas menengah perkotaan. Mereka pun mulai menerapkan bentuk organisasi modern. Jika pada masa sebelumnya hubungan antara pemimpin dan pengikutnya bersifat paternalistis, maka pada awal abad ke-20 berubah menjadi lebih rasional. Gerakan yang berpola asosiasional membuat aktivitasnya meluas dan tidak lagi localized. Pengambilan keputusan pun lebih demokratis dengan menggunakan mekanisme musyawarah. Tradisi denmokrasi dan partisipasi mulai terbentuk.

Akar kesadaran Gerakan Islam politik modern dimulai sejak lahirnya Syarikat Islam (SI) sebagai tranformasi dari Sarikat Dagang Islam (SDI) yang didirikan tahun 1911. SI ini merupakan partai politik Islam pertama di Indonesia yang terkemuka dan merupakan partai modern dan menasional. Ilmuwan politik seperti Koever da Deliar Noer menyebutkan sebagai partai politik pertama di Indonesia sedangkan ilmuwan lain seperti Van Niel dan Ingelson menyebutkan bahwa SI merupakan organisasi politik Indonesia abad 20 yang paling menonjol setiadaknya sampai dekade pertama abad 20.

Bahkan seharusnya yang menjadi landasan kebangkitan Nasional adalah SDI atau SI sebab keberadaannya relatif lebih diterima diseluruh pelosok Nusantara. Berbeda dengan Boedi Utomo (BU) yang dianggap sebagai penjelmaan Priyayi Jawa dan lebih memiliki mosi untuk memperjuangkan masyarakat Jawa sehingga banyak daerah-daerah di luar Jawa yang menolaknya seperti Paguyuban Pasundan (Gerakan Politik masyarakat Sunda) yang pada awalnya menolak bergabung dengan BU.

Pasca gerakan SI inilah muncul gerakan-gerakan politik nasional lainnya seperti PNI 1926 bentukan Soekarno, Partai Penyadar (1936), Persyarikatan Komunis (1920-an) dan Partai Islam Indonesia (PII) (1938-an). Sekitar tahun 1920-an SI mengalami perpecahan internal sehingga tidak dapat lagi menjadi wadah pemersatu gerakan Islam politik. Pada tahun 1937-an berdiri federasi baru bagi berbagai unsur Islam yang disebut Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI). MIAI didirikan secara bersama-sama antara K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah/sub kultur modernis), K.H. Abdul Wahab Hasbullah (NU/sub kultur tradinisonalis), K.H. Ahmad Dahlan (non partai) bertujuan untuk menggalang persatuan partai dan organisasi Islam dalam menghadapi situasi yang makin krisis, dijadikan ajang musyawarah sehingga konflik-konflik yang melemahkan perjuangan umat dapat diminimalisasi. Lewat MIAI diharapkan posisi Islam dapat sepadan dengan penting dan besarnya jumlah umat Islam.

Pasca Kemerdekaan RI, diadakanlah Kongres Umat Islam di Yogyakarta tepatnya pada tanggal 7-8 November 1945 untuk membentuk satu partai politik Islam. Pada Kongres tersebut disepakati mendirikan Partai Masyumi yang bebas dari bau kolonial dan didukung hampir oleh semua organisasi Islam lokal dan nasional dengan komponen utamanya NU dan Muhammadiyah. Terjadilah duet kepemimpinan Masyumi pertama antara NU dengan Muhammadiyah. K.H. Hasyim Asari (NU)sebagai Ketua Syuro dan Soekiman Wirjosandjojo (PII yang sekaligus sebagai orang Muhammadiyah) sebagai Ketua Badan Eksekutif/Pimpinan Pusat.

Pasang Surut Partai-Partai Islam

Perjalanan partai-partai Islam mulai awal kemerdekaan senantiasa terfragmentasi. Integrasi faksi-faksi dalam Masyumi mulai retak karena dominasi faksi nasionalis yang kuat dalam pemerintahan. Unsur masyumi tetap memiliki otonomi dalam kegiatan di bidang sosio-keagamaan. Namun, federasi juga mempunyai akibat negatif, dimana semangat golongan seringkali lebih ditonjolkan dibandingkan semangat persatuan, terutama ketika menghadapi daya tarik posisi politik formal dalam pemerintahan.

Fragmentasi Islam politik akhirnya berimplikasi pada pemilu 1955. Kendati aliran Islam secara total mendapat jumlah terbesar yakni 45,2% (116 kursi), nasionalis 27,6% (71 kursi). Sosialis Kiri-Komunis 15,2% (39 kursi) dari total 257 kursi. Namun setelah dibagi berdasarkan garis partai, hasil tertinggi adalah PNI (57 kursi), disusul Masyumi (57 kursi), NU (45 kursi) dan PKI (39 kursi), sisanya partai-partai kecil termasuk partai Islam yang kurang dari 10 kursi. Akibatnya, kendati pemerintahan yang dibentuk merupakan koalisi PNI-Masyumi-NU, tetapi formatur yang ditunjuk presiden adalah PNI sebagai pemegang suara terbesar. Hal ini akan sangat berbeda jika Islam politik tetap memakai satu bendera bernama Masyumi.

Analis politik Indonesia senantiasa mempetakan kekuatan-kekuatan politik Indonesia dengan model segitiga emas sebagaimana yang diungkapkan Harold Crouch dan William Liddle. liddle mengatakan bahwa pada masa soekarno segita tiga itu terletak pada kekuatan politik Nasionalis, Islam dan PKI.Nasionalis terletak pada Soekarno dan PNI (partai terbesar), Islam terletak pada Masyumi yang merupakan kekuatan kedua sebelum pecah dengan NU yang mendirikan partai sendiri. Sedangkan PKI merupakan partai terbesar ketiga terutama pada tahun 60-an. Ketiga kekuatan ini saling bersaing dan saling menjatuhkan sehingga terjadi instabilitas politik kemudian diakhiri dengan Dekrit Presiden. Dekrit merupakan kemenangan nasionalis dan PKI yang berdampak pembubaran Masyumi tahun 1960.

Pasca Masyumi dibubarkan segitiga emas terletak pada Soekarno, TNI-AD dan PKI. Terjadi persaingan antara TNI-AD dan PKI. TNI-AD dengan mendapatkan dukungan dari eks-Masyumi untuk melakukan perlawanan politik (hal ini merupakan awal dari TNI berpolitik praktis) dengan menjatuhkan rejim Soekarno dengan memanfaatkan ketergesaan PKI untuk berkuasa dengan melakukan kup G 30 S. Dengan peristiwa itulah jatuhnya rejim Soekarno beserta PKI dan muncullah Orde Baru.

Pada masa Orde Baru terbentuk segitiga emas kembali yakni Nasionalis, Islam dan TNI. Nasionalis terletak pada Soeharto dan Golkar sedangkan Islam terutama eks-masyumi yang tidak diijinkan berdiri kembali partai masyumi kemudian terbentuk fusi PPP yang tidak menampung eks-masyumi begitu pula sebelum fusi dengan terbentuknya Parmusi sebagai pengganti Masyumi pada pemilu 1977. Eks Masyumi yang kecewa terhadap koalisi dengan TNI yang menjanjikan akan mendirikan kembali partai Masyumi pasca Orde Lama. Efek dari kekecewaan ini maka Islam dijadikan kekuatan lawan oleh Soeharto dan Golkar di masa awal Orde Baru dengan menggunakan TNI sehingga Islam berlawanan dengan TNI. Dimunculkanlah kembaliisu-isu pendirian Negera Islam Indonesia (NII). Bahkan pada zaman ORBA muncul istilah KBA (Koalisis ABRI dan Birokrasi). Juga istila ABG (ABRI, Birokrasi dan Golkar).

Dengan demikian jatuhnya Soeharto, Habibie (yang tidak direspon naik menjadi presiden kembali) dan Gus Dur apakah karena politik Islam, sebagaimana para pengamat politik yang menyatakan bahwa dunia internasional tidak menghendaki kemenangan kelompok Islam tetapi saya lebih melihat pada faktor utama yakni krisis ekonomi internasional yang menjadi faktor dominant, selain itu tidak terkonsolidasikannya kekuatan-kekuatan politik di dalam negeri. Dalam hal ini saya sepakat dengan para pengamat ekonomi seperti Faisal Basri yang berkomentar bahwa kejatuhan para pemimpin nasinal tersebut merupakan efek dari kegagalan program IMF dan kelemahan tim ekonomi nasional dalam menentukan lembaga ekonomi dunia.

Politik Aliran dalam Internal Islam Politik

Analisis Geertz dalam Islam politik dapat digunakan dengan melihat realitas perilaku Islam politik. Pemilahan ini dapat terlihat dari mulai terbentuknya partai-partai Islam semenjak sebelum kemerdekaan. Partai Islam lebih bersifat lokalis (Perti yang hanya di minangkabau) dan berdasarkan aliran seperti SI yang lebih didominasi kaum saudagar (pedagang). Pasca kemerdekaan Masyumi pecah dengan NU, ini pun didasarkan pada berbeda aliran antara kaum tradisionalis (NU) dan Modernis (Muhammadiyah, Persis, dll), lebih-lebih terlihat lagi ketika masa ORBA, NU kembali ke Khittah tahun 1984 berdasar Muktamar NU ke 27 di Situbondo yang kemudian NU keluar dari PPP. Hal tersebut karena persaingan antara kaum tradisional (NU) dengan kaum modernis yang terkumpul dalam MI.

Elit-elit Islam politik yang akan atau yang telah menikmati segala macam kenikmatan politik harus mulai menyadari bahwa realitas politik yang diperankannya belum mampu membawa negara ini kearah yang lebih mensejahterakan rakyat. Kemiskinan dan penganguran setiap tahun senantiasa meningkat dan harga sembako semakin sulit dan mahal. Sudah saatnya bagi elit politik dan seluruh rakyat untuk melakukan muhasabah (refleksi diri) dan muraqabah (kerja keras, tekun, jujur, dan cermat) dalam menghadapi persoalan bangsa yang semakin terpuruk sehingga terhindar dari kebangkrutan.

Agenda ketiga, Partai-partai Islam membuka ruang yang sangat lebar terhadap munculnya kader-kader muda yang visioner. Pada akhir tahun 2007-an muncul opini pemimpin bangsa dari kaum muda. Opini tersebut lahir mungkin sebagai antitesa dari realitas politik di era reformasi yang antara lain: pertama, di era reformasi terjadi perubahan sistem politik tetapi tidak melahirkan perubahan aktor politik, sehingga reformasi dianggap sebagai perubahan kulit saja. Kedua, munculnya elit-elit poitik yang senantiasa terkait dengan kasus-kasus hukum di masa lalu, sehingga melahirkan sulitnya supremasi hukum dan hukum masih tetap menjadi pelindung sebagian elit. Ketiga, Masyarakat merasa jemu dengan kepemimpinan bangsa yang lamban dalam menangani krisis. Keempat, adanya kesulitan anak muda untuk muncul menjadi aktor politik baru karena dihambat oleh aktor lama yang masih ingin tetap bercokol sebagai pelaku politik.

Antitesa tersebut cukup beralasan karena Pertama, dilihat dari sejarah kepemimpinan nasional yang mampu melakukan perubahan yang signifikan senantiasa dipelopori dari pemimpin yang dalam kategori muda seperti Soekarno diusia 43 tahun menjadi Presiden dan ia mampu melakukan perubahan begitu pula Soeharto diusia 47 tahun menjadi Presiden dan ia pun mampu melakukan perubahan yang signifikan. Akan tetapi berbeda kepemimpinan pada masa reformasi yang rata-rata dipimpin oleh Presiden yang berusia di atas 55 tahun melahirkan kepemimpinan yang rapuh sehingga mudah berganti-ganti kepemimpin yang melahirkan instabilitas politik dan ekonomi.

Begitu pula dengan pemimpim-pemimpin negara lain yang dipimpin dari kaum muda senantiasa melakukan perubahan signifikan seperti Ahmaddinejad Presiden Iran yang terpilih pada usia sekitar 51 tahunan, lee kuanyu yang terpilih pada usia 48 tahun, Aroyo Filifina diusia 51-an, Tony Blair Inggris diusia 48 tahunan danBil Cilnton pada usia 50-an dan terakhir adalah Barac Husein Obama.

Kelima, dengan kaum muda menjadi pemimpin bangsa akan terhindar dari kasus-kasus masa lalusehingga supremasi hukum akan mudah dilaksanakan dan elit muda akan terkonsentrasi untuk melakukan perubahan. Berbeda dengan kaum tua yang senantiasa terkait dengan kasus masa lalu sehingga ia sibuk untuk menyelamatkan diri dan fokus perubahan menjadi terabaikan.

Sebenarnya dalam rangka mempercepat sirkulasi kepemimpinan nasional akan sangat tergantung kepada sistem kaderisasi dan rekruitmen politik dalam partai politik. Apabila partai politik membuka ruang yang lebar bagi anak mudauntuk tampil menjadi elit maka trend kepemimpinan anak muda akan dengan cepat terwujud. Hal ini dapat terlihat seperti Soekarno dan Soeharto menjadi tampuk pimpinan bangsa karena partai membuka diri untuk mendorong mereka menjadi elit bangsa. Walaupun pada zamannya banyak juga kaum tua menjadi aktor politik.

Pemilu langsung akan sangat memberikan peluang terhadap kandidat yang memiliki popularitas. Populerly election akan melahirkan ‘personalized politics’ sedangkan partai politik sebagai politicle mesine hanya menjadi pelengkap persyaratan presiden belum menjadi penentu kemenangan. Hal itu terbukti pada pemilu 2004, Golkar sebagai pemenang pemilu legislatif tidak mampu memenangkan pilpres.

J. Cristiadi mengatakan bahwa sudah saatnya rakyat menentukan agenda prioritas, khususnya utuk menentukan pilihan yang selalu melekat dalam demokrasi, yaitu antara mewujudkan keterwakilan (representativeness) dan membangun pemerintahan yang efektif (governability), tetapi dikontrol oleh rakyat. Pilihan kedua tampaknya perlu dilakukan agar demokrasi prosedural tidak semakin terjebak pada demokrasi kulit, simbolik, hanya berisi slogan-slogan mengatasnamakan rakyat.


Lihat Politik Selengkapnya

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi
tanggung jawab komentator
seperti diatur dalam UU ITE


Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Lihat Semua Komentar (0)