Blog

losandes.biz: Kronologi Konflik RusiaUkraina Sejak 1991 Berawal dari Pecahnya Soviet


Dalam era yang terus berkembang dengan pesat, informasi telah menjadi komoditas yang tak ternilai harganya. Dari revolusi digital hingga transformasi teknologi, dunia kita kini tenggelam dalam lautan informasi yang tak pernah kering. Artikel ini mengajak kita untuk melangkahkan kaki ke dalam kompleksitas tatanan informasi saat ini, mengeksplorasi tantangan dan peluang yang muncul dalam mengelola dan memahami gelombang informasi yang terus menggulung. Dari algoritma cerdas hingga arus berita yang tak kenal lelah, mari kita telaah bersama bagaimana kita dapat menjadikan informasi sebagai alat untuk mendobrak batasan dan memahami dunia di sekitar kita dengan lebih baik.

Berikut adalah artikel atau berita tentang Harian losandes.biz dengan judul losandes.biz: Kronologi Konflik RusiaUkraina Sejak 1991 Berawal dari Pecahnya Soviet yang telah tayang di losandes.biz terimakasih telah menyimak. Bila ada masukan atau komplain mengenai artikel berikut silahkan hubungi email kami di [email protected], Terimakasih.

Jakarta

Konflik Rusia-Ukraina yang menjadi sorotan dunia ini masih berlangsung hingga hari ini, Kamis (3/2/2022). Badan pengungsi PBB menyatakan, 1 juta orang kini telah meninggalkan Ukraina sejak invasi Rusia dimulai kurang dari seminggu yang lalu, dilaporkan Associated Press.

Konflik dua negara yang pecah hingga hari ini ternyata memiliki cerita sejarah di baliknya. Bermula dari tahun 1991, setelah Ukraina memisahkan diri dari Uni Soviet. Kronologi selengkapnya dapat disimak berikut ini.

Kronologi Konflik Rusia-Ukraina dari 1991-2022

Uni Soviet runtuh dan negara-negara yang tergabung di sana memisahkan diri. Dikutip dari Reuters, Ukraina merupakan salah satu negara yang kemudian segera mendeklarasikan kedaulatannya dari Moskow, ibu kota Rusia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kandidat pro-Rusia Viktor Yanukovich dinyatakan terpilih sebagai presiden ke-4 Ukraina mengalahkan lawannya, Viktor Yuschenko. Namun, tuduhan kecurangan jumlah suara yang dilayangkan kepada Yanukovich memicu protes publik yang dikenal dengan Revolusi Oranye.

Akibat dari Revolusi Oranye ini kemudian membuat pemungutan suara digelar kembali. Hasilnya, mantan perdana menteri pro-Barat Viktor Yuschenko terpilih sebagai presiden.

Pada 2005, Yuschenko pun mengambil alih kekuasaan. Ia menjanjikan Ukraina di bawah kekuasaannya untuk membebaskan diri dari Kremlin, sebaliknya akan membawa Ukraina bergabung dengan NATO (North Atlantic Treaty Organisation) dan Uni Eropa (EU).

Hingga tahun 2008, NATO kemudian memberikan lampu hijau soal penggabungan Ukraina bersama mereka pada suatu hari nanti.

Kandidat Yanukovich kembali memenangkan pemilihan presiden. Selama pemerintahanya, Ukraina menangguhkan pembicaraan soal kerja sama dan penggabungan dengan Uni Eropa pada tahun 2013.

Sebaliknya, Yanukovich kemudian membangun kembali hubungan kerja sama Ukraina dengan Moskow. Hal ini pun memicu kecaman dan demonstrasi besar-besaran selama berbulan-bulan di Kyiv, ibu kota Ukraina.

Pada Februari 2014, Parlemen Ukraina kemudian mencopot Yanukovich dari kursi pemerintahan. Utamanya, setelah terjadi pertumpahan darah dalam demokrasi sebagai akibat dari penolakan atas keputusannya.

Selang beberapa hari, pasukan militer merebut parlemen di wilayah Ukraina yakni, Krimea. Mereka juga mengibarkan bendera Rusia di sana hingga Moskow pada akhirnya mencaplok wilayah tersebut.

Lanjut pada April 2014, kelompok separatis pro-Rusia di wilayah timur Donbas mendeklarasikan kedaulatannya.

Pada 2017, tercipta perjanjian kerja sama antara Ukraina dan Uni Eropa. Perjanjian ini membuka pasar perdagangan bebas barang dan jasa hingga perjalanan bebas visa ke wilayah Uni Eropa bagi Ukraina.

Hingga 2019, mantan komedian yang kerap menghiasi TV di sana, Volodymyr Zelenskyy terpilih untuk memimpin Ukraina.

Pada Januari 2021, Zelenskyy meminta Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden untuk mengizinkan Ukraina bergabung dengan NATO.

Di sisi lain, Rusia kemudian mulai mengerahkan pasukan bersenjatanya di dekat perbatasan Ukraina pada musim semi 2021. Mereka mengaku hal ini sebagai bentuk latihan.

Hingga pada November 2021, citra satelit yang diambil oleh Maxar Technologies menampilkan penumpukan pasukan Rusia di dekat Ukraina.

Sebulan setelahnya, tepatnya 17 Desember 2021, Rusia mengajukan tuntutan keamanan. Hal ini termasuk dengan NATO agar menarik kembali pasukan dan senjata dari bagian timur Eropa. Berikut juga Rusia melarang Ukraina untuk bergabung bersama mereka.

1. Januari

Pada 24 Januari, NATO menempatkan pasukan bersenjata mereka dalam keadaan siaga dan memperkuat bagian timur Eropa dengan memperbanyak kapal dan jet tempur.

Dua hari setelahnya, pihak Washington AS kemudian menanggapi tuntutan keamanan Rusia. Mereka menekankan, komitmen NATO untuk membuka kesempatan bergabung bagi siapa saja.

Pihaknya juga menawarkan bentuk evaluasi pragmatis atas kekhawatiran Moskow. Namun, pada 28 Januari, Rusia kemudian menyatakan tuntutannya tidak ditanggapi.

2. Februari

Awal Februari 2022, kekhawatiran Barat seputar Rusia akan menyerang Ukraina sewaktu-waktu mulai memuncak. AS kemudian berjanji akan mengirim 3 ribu tentara tambahan untuk tentara anggota NATO, Polandia dan Rumania.

Washington dan sekutunya menyebut, pihaknya tidak akan mengirim bantuan pasukan ke Ukraina. Meski demikian, mereka memperingatkan sanksi ekonomi yang berat kepada Rusia bila Presiden Rusia Vladimir Putin mengambil tindakan militer.

Melalui pidatonya di sebuah stasiun TV pada 21 Februari, Putin menyebut Ukraina sebagai bagian integral dari sejarah Rusia. Ia juga mengatakan, Ukraina dipimpin oleh rezim ‘boneka’ dengan kekuatan asing di baliknya.

Putin memerintahkan ‘pasukan penjaga perdamaian’ menuju dua wilayah yang memisahkan diri di timur Ukraina yakni Luhansk dan Donetsk, usai mengakui dua wilayah tersebut sebagai wilayah yang merdeka.

Sementara itu, dari pihak Ukraina, Presiden Zelenskyy meminta penduduknya untuk tetap tenang. “Kita tidak takut pada siapapun atau apapun,” katanya, dikutip dari Al Jazeera.

Para pemimpin separatis yang didukung Rusia kemudian meminta bantuan Rusia untuk menangkis agresi dari tentara Ukraina pada 23 Februari. Sehari setelahnya, Putin pun mengizinkan perlakuan ‘operasi militer khusus’ di Ukraina.

Pasukan Rusia memulai serangan rudal dan artileri hingga menyerang kota-kota besar Ukraina termasuk Kyiv. Hingga pada 26 Februari, pihak Sekutu Barat merespons hal ini dan menjatuhkan sanksi baru kepada Rusia.

Termasuk pembatasan bank sentral Rusia dan mengeluarkan Rusia dari sistem transaksi antar bank global atau SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication). Sanksi kepada Rusia ini pun terus berlanjut hingga 27 Februari.

Pasukan Rusia kemudian mulai maju menuju tiga kota besar Ukraina yakni, Kyiv, Kharkiv dan Kherson.

Pada 28 Februari, Ukraina mengajukan diri untuk bergabung dengan Uni Eropa. Pihak Rusia dan Ukraina pun sepakat untuk mengadakan perundingan pertama di perbatasan Belarusia. Perundingan pun selesai setelah lima jam tanpa ada kesepakatan.

Selama perundingan berlangsung, Rusia tidak berhenti menghentikan serangannya, terutama di Kharkiv, kota terbesar kedua di Ukraina. Namun, Perwakilan Tetap Rusia untuk Dewan Keamanan PBB menyangkal pasukan Rusia menargetkan warga sipil.

Majelis Umum PBB menyebut, lebih dari 500 ribu orang Ukraina telah meninggalkan negara itu.

3. Maret

Presiden Zelenskyy kemudian meminta negara-negara Barat memberlakukan zona larangan terbang bagi pesawat Rusia. Namun, AS menolak dengan alasan hal itu dapat menyeret Wasington dalam konflik langsung dengan Moskow, menurut Sekretaris Pers Gedung Putih Jen Psaki.

Terbaru, pada 2 Maret kemarin, Majelis Umum PBB menyetujui resolusi tidak mengikat yang mengutuk Rusia atas invasinya ke Ukraina dan menuntut mereka untuk menarik pasukannya dari sana.

Resolusi tersebut didukung oleh 141 dari 193 negara anggota majelis PBB. Tiga puluh lima negara anggota, termasuk China memilih abstain.

Simak juga ‘Momen Kedatangan WNI di Tanah Air Usai Dievakuasi dari Ukraina’:

[Gambas:Video 20detik]

Simak Video “Sebut UFO Ancam Keamanan AS, Eks Komandan AL: Teknologinya Lebih Unggul!”
[Gambas:Video 20detik]

(rah/twu)