Blog

losandes.biz: Radikalisme Agama dan Politik


Dalam era yang terus berkembang dengan pesat, informasi telah menjadi komoditas yang tak ternilai harganya. Dari revolusi digital hingga transformasi teknologi, dunia kita kini tenggelam dalam lautan informasi yang tak pernah kering. Artikel ini mengajak kita untuk melangkahkan kaki ke dalam kompleksitas tatanan informasi saat ini, mengeksplorasi tantangan dan peluang yang muncul dalam mengelola dan memahami gelombang informasi yang terus menggulung. Dari algoritma cerdas hingga arus berita yang tak kenal lelah, mari kita telaah bersama bagaimana kita dapat menjadikan informasi sebagai alat untuk mendobrak batasan dan memahami dunia di sekitar kita dengan lebih baik.

Berikut adalah artikel atau berita tentang Harian losandes.biz dengan judul losandes.biz: Radikalisme Agama dan Politik yang telah tayang di losandes.biz terimakasih telah menyimak. Bila ada masukan atau komplain mengenai artikel berikut silahkan hubungi email kami di [email protected], Terimakasih.

FAHMY LUKMAN, Associate Professor pada Departemen Linguistik FIB Unpad

Di tengah isu kelangkaan minyak goreng, penundaan pemilu, pemindahan ibu kota yang pro-kontra, Presiden Jokowi, pada 1 Maret 2022 memberikan pengarahan dalam Rapim TNI-Polri.

Pesannya, jangan mengundang penceramah radikal, kuasai teknologi digital, tidak ikut memperdebatkan Ibu Kota Negara (IKN), dan kedisiplinan tinggi. Sebelumnya, viral di grup Whatsapp nama 180 penceramah (yang diduga) radikal tanpa menyebut lembaga perilisnya.

Ketiga, menanamkan antipemimpin atau pemerintahan yang sah, dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan ataupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, ujaran kebencian, dan hoaks.

Kata ‘radikalisme’ dan ‘radikal’ bermakna berbeda.

Keempat, bersikap eksklusif terhadap lingkungan ataupun perubahan dan intoleran, baik pada perbedaan maupun keragaman. Kelima, antibudaya atau antikearifaan lokal. Hal di atas memicu perdebatan. Lalu, bagaimana radikalisme dalam perspektif agama dan politik?

Radikalisme dan agama

Kata ‘radikalisme’ dan ‘radikal’ bermakna berbeda. KBBI mendefinisikan radikalisme sebagai (a) paham atau aliran yang radikal dalam politik, (b) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis, dan (c) sikap ekstrem dalam aliran politik.

Radikal didefinisikan (a) secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip), (b) amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), (c) maju dalam berpikir atau bertindak, (d) gugus atom yang dapat masuk ke dalam berbagai reaksi sebagai satu satuan, yang bereaksi seakan-akan satu unsur saja.

Islam tak mengajarkan radikalisme ataupun moderatisisme dalam pengertian a political philosophy of avoiding the extremes of left and right by taking a moderate position (www.vocabulary.com), yaitu filosofi politik menghindari ekstrem kiri dan kanan dengan mengambil posisi moderat.

Berdasarkan definisi di atas, Islam dan agama lain di Indonesia tak satu pun mengajarkan radikalisme.

Radikalisme dan politik

Radikalisme terkait paham yang menganut cara-cara ekstrem mencapai tujuan (Maskaliūnait, 2015). Aktor radikalisme bisa perorangan dan kelompok, pengusaha, penguasa, atau gabungannya (oligarki) yang beragama dan bergender apa pun.

Penguasa dan pengusaha yang berpolitik dapat memanfaatkan perangkat yang dimilikinya untuk menjaga stabilitas ekonomi atau menciptakan kondisi usaha yang menguntungkan. Karena itu, saat krisis sosial-ekonomi-politik, aktor politik jauh lebih aktif.

Aktor radikalisme bisa perorangan dan kelompok, pengusaha, penguasa, atau gabungannya (oligarki) yang beragama dan bergender apa pun.

Tak dapat dikatakan pengusaha berada di “ruang hampa” sebab faktanya di banyak negara mereka pelaku politik.

Di Indonesia, riset MA Azhar (2012), Kunio (1990), Hefner (1998), serta Robinson dan Hadiz (2004) mengonfirmasi pola di atas. Pengusaha adalah pemburu rente dari hasil “selingkuh kepentingan” dengan penguasa.

Selain itu, karena penindasan oleh penguasa atau oposisi, pertikaian ideologis, ambisi pemimpin partai politik, dan orientasi mereka pada cara politik ekstrem. Meskipun terkadang pada kondisi sosial politik tertentu, radikalisme dapat memberikan kontribusi (Lucini, 2017).

Kalangan yang mengaitkan radikalisme dengan agama (Islam) melakukan “kekeliruan besar”, yang patut diduga memiliki motif memecah-belah bangsa ini.

Itu bergantung pada sifat perubahan sosial, radikalisme dapat konstruktif atau destruktif. Yang konstruktif, radikalisme revolusioner, yang ditujukan pada transformasi kualitatif dan progresif dari sistem sosial, yakni pembangunan masyarakat baru yang lebih baik.

Radikalisme destruktif, melestarikan relasi sosial melalui tindakan agresif merusak terhadap sistem sosial (Bartlett & Miller, 2012).

Jelas, radikalisme terkait aktivitas politik saat terjadi krisis dalam masyarakat.

Kesimpulannya, radikalisme itu kategori politik bukan kategori agama. Kalangan yang mengaitkan radikalisme dengan agama (Islam) melakukan “kekeliruan besar”, yang patut diduga memiliki motif memecah-belah bangsa ini.