Blog

losandes.biz: Ridwan Kamil Golkar dan Strategi Besar Jokowi


Dalam era yang terus berkembang dengan pesat, informasi telah menjadi komoditas yang tak ternilai harganya. Dari revolusi digital hingga transformasi teknologi, dunia kita kini tenggelam dalam lautan informasi yang tak pernah kering. Artikel ini mengajak kita untuk melangkahkan kaki ke dalam kompleksitas tatanan informasi saat ini, mengeksplorasi tantangan dan peluang yang muncul dalam mengelola dan memahami gelombang informasi yang terus menggulung. Dari algoritma cerdas hingga arus berita yang tak kenal lelah, mari kita telaah bersama bagaimana kita dapat menjadikan informasi sebagai alat untuk mendobrak batasan dan memahami dunia di sekitar kita dengan lebih baik.

Berikut adalah artikel atau berita tentang Harian losandes.biz dengan judul losandes.biz: Ridwan Kamil Golkar dan Strategi Besar Jokowi yang telah tayang di losandes.biz terimakasih telah menyimak. Bila ada masukan atau komplain mengenai artikel berikut silahkan hubungi email kami di [email protected], Terimakasih.

BERGABUNGNYA Ridwan Kamil atau Kang Emil ke Partai Golkar cenderung dimaknai oleh para pengamat politik nasional sebagai bagian dari skenario politik Airlangga Hartarto dan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB).

Kehadiran Ridwan Kamil secara resmi sebagai kader di dalam Partai Golkar dianggap sebagai penambah daya gedor untuk mendapatkan status calon presiden atau sebagai pengganti Airlangga Hartarto sebagai calon presiden potensial dari Golkar dan KIB.

Masalah dengan pemaknaan politik seperti itu adalah bahwa pertama, Airlangga Hartarto bukanlah kandidat potensial yang mengantongi elektabilitas tinggi di dalam survei-survei politik yang ada. Bahkan angka raihan elektabilitas Ridwan Kamil jauh lebih baik dibanding Airlangga Hartarto.

Artinya adalah mengasumsikan Ridwan Kamil sebagai calon wakil presiden untuk Airlangga Hartarto sangatlah tidak masuk akal secara elektoral karena angka elektabilitas Airlangga nyaris kurang bertenaga untuk mengangkat dirinya sebagai calon presiden di mata partai-partai politik lainnya.

Jadi mengasumsikan pendaftaran Ridwan Kamil sebagai kader Golkar adalah bagian dari skenario Airlangga untuk mendapatkan pasangan calon wakil presiden sangat tidak rasional secara politik praktis.

Bahkan, menurut saya, secara proyektif asumsi tersebut sebenarnya sudah gagal sebelum berkembang di satu sisi.

Dan lebih dari itu, saya yakin Ridwan Kamil pun berpikiran demikian. Mendaftar sebagai kader Golkar untuk mempersiapkan diri sebagai calon pendamping Airlangga Hartarto tahun 2024 bukanlah sebuah daya tarik politik yang akan membuat Ridwan Kamil memutuskan untuk menjadi kader partai berlambang pohon beringin tersebut.

Karena “prize” yang akan ia kejar tidak sesuai dengan potensi politik yang ada pada Airlangga Hartarto. Tentu Ridwan Kamil bisa berhitung dengan mudah soal itu.

Kedua, mengasumsikan Ridwan Kamil sebagai calon presiden yang akan menggantikan Airlangga Hartarto juga kurang masuk akal secara elektoral.

Seperti yang pernah saya tulis beberapa waktu lalu tentang potensi Ridwan Kamil, kualifikasi terbaik untuk Ridwan Kamil ikut berpartisipasi di dalam pemilihan presiden 2024 adalah sebagai calon wakil presiden, baik secara politik elektoral maupun secara geografis kultural.

Jika Ridwan Kamil menjadi calon presiden dari KIB, pertanyaannya kira-kira siapa calon wakil presidennya?

Airlangga Hartarto atau Sandiaga Uno, yang anggap saja berhasil berdamai dengan Gerindra dan pindah ke Partai Persatuan Pembangunan? Menurut saya, rasanya kurang tepat dan juga kurang bertenaga secara politik.

Ridwan Kamil dan Sandiaga Uno berkualifikasi potensial sebagai calon wakil presiden. Jika dipaksakan menjadi calon presiden dan wakil presiden, saya meyakini energi politiknya tidak akan besar.

Asumsi besar pertamanya adalah bahwa KIB salah satu infrastruktur politik Jokowi yang dipercayakan secara teknis kepada Airlangga Hartarto dan KIB.

Jadi dengan memboyong Ridwan Kamil ke kubu Partai Golkar dan KIB adalah bagian dari aksi Jokowi untuk ‘membalas’ Nasdem dan Surya Paloh.

Pada saat Ridwan Kamil menjadi Wali Kota Bandung, infrastruktur politik utamanya adalah Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Lantas di tengah jalan, Ridwan Kamil diambil oleh Nasdem dan kemudian maju sebagai calon gubernur Jawa Barat bersama Nasdem dan PPP (partai Wakil Gubernur Jabar saat ini).

Kemudian, saat Anies Baswedan lepas dari pemerintahan Jokowi, Gerindra dan PKS mengambil Anies dan membawanya menjadi pemenang Pilkada DKI 2017.

Namun menjelang berakhirnya masa jabatan Anies Baswedan sebagai Gubernur di DKI Jakarta, Nasdem melakukan hal yang sama, yakni mencaplok Anies Baswedan dari Gerindra dan PKS.

Nah, saat Nasdem di atas angin karena berhasil mengambil figur yang dibesarkan Gerindra dan PKS, salah satunya Ridwan Kamil, mendadak Ridwan Kamil berpindah haluan ke Golkar, yang saya asumsikan di atas sebagai infrastruktur politik Jokowi.

Bahkan Ridwan Kamil masih menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat dengan dukungan koalisi Nasdem dan PPP di DPRD Jabar.

Jadi langkah Airlangga Hartarto membawa Ridwan Kamil ke Golkar adalah bagian dari dialog Jokowi dengan Nasdem dan Surya Paloh.

Kali ini Jokowi ‘memukul’ Nasdem dengan mengambil Ridwan Kamil sebagai balasan atas keputusan Nasdem dan Surya Paloh menjadikan Anies Baswedan sebagai calon presiden Partai Nasdem.

Artinya, Jokowi, Airlangga Hartarto dan KIB menutup peluang Nasdem dan Surya Paloh untuk menggiring Ridwan Kamil berpasangan dengan Anies Baswedan.

Karena, bagaimanapun, jika Anies Baswedan dan Ridwan Kamil dipasangkan, maka keduanya menjadi pasangan potensial untuk mengalahkan siapapun calon yang didukung Jokowi nanti.

Keduanya sama-sama menjabat sebagai gubernur dan sama-sama memiliki basis pemilih yang besar. Lihat saja modalitas politik Ridwan Kamil di media sosial misalnya, dengan follower instagram yang jauh lebih besar dibanding calon wakil presiden lainnya.

Selain itu, keduanya adalah figur populer yang banyak menarik perhatian generasi muda, mulai dari generasi milenial, Y, dan Z. Apalagi, pemilh pada pemilihan tahun 2024 akan didominasi oleh pemilih muda dari ketiga kategori generasi tersebut.

Berdasarkan penelitian CSIS (Centre for Strategic and International Studies) belum lama ini, porsi pemilih muda (umur 17-39 tahun) pada pemilu 2024 berkisar sekitar 60 persen.

Ditambah lagi dengan fakta lain bahwa keduanya berasal dari dua provinsi yang memiliki suara pemilih sangat banyak.

Perpaduan dua lumbung suara besar plus potensi pemilih yang juga tidak kalah besar di luar kedua provinsi tersebut adalah modalitas politik yang tidak dimiliki kandidat lain.

Pendeknya, pendaftaran Ridwan Kamil menjadi kader Golkar bukanlah event independen, tapi event politik yang menjadi bagian dari “puzzle” politik yang sedang dimainkan oleh Jokowi dan Airlangga Hartarto (KIB) dalam berdialog secara simbolik dengan dua kubu besar, yakni Surya Paloh dan Megawati Soekarnoputri.

Dan menurut saya, langkah kali ini sangat “ciamik” dan jenius dan termasuk manuver kualifikasi seorang King Maker.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.