Blog

losandes.biz: Saat Serangan Drone Ukraina Menggoyang Jantung Rusia


Dalam era yang terus berkembang dengan pesat, informasi telah menjadi komoditas yang tak ternilai harganya. Dari revolusi digital hingga transformasi teknologi, dunia kita kini tenggelam dalam lautan informasi yang tak pernah kering. Artikel ini mengajak kita untuk melangkahkan kaki ke dalam kompleksitas tatanan informasi saat ini, mengeksplorasi tantangan dan peluang yang muncul dalam mengelola dan memahami gelombang informasi yang terus menggulung. Dari algoritma cerdas hingga arus berita yang tak kenal lelah, mari kita telaah bersama bagaimana kita dapat menjadikan informasi sebagai alat untuk mendobrak batasan dan memahami dunia di sekitar kita dengan lebih baik.

Berikut adalah artikel atau berita tentang Harian losandes.biz dengan judul losandes.biz: Saat Serangan Drone Ukraina Menggoyang Jantung Rusia yang telah tayang di losandes.biz terimakasih telah menyimak. Bila ada masukan atau komplain mengenai artikel berikut silahkan hubungi email kami di [email protected], Terimakasih.

Pernyataan itu adalah pertama kali secara lugas Presiden Ukraina ”membenarkan” secara cepat serangan militer yang menyasar langsung ke jantung teritorial Rusia.

Hanya beberapa jam sebelumnya, tiga drone bunuh diri (kamikaze) diluncurkan ke kawasan baru pusat bisnis dan perbelanjaan di sisi barat Moskwa. Meski tidak mengakui bertanggung jawab secara langsung, pernyataan Zelenskyy mengisyaratkan peran Ukraina atas serangan itu.

Serangan ke wilayah teritorial Rusia merupakan sebuah hal yang ditentang pihak Barat, terutama Presiden Amerika Serikat Joe Biden, karena kekhawatiran membangkitkan kesungguhan penggunaan nuklir oleh Rusia. Bahkan, AS menahan diri untuk mengirim rudal berjarak jangkau di atas 300 kilometer karena khawatir akan digunakan oleh militer Ukraina.

AFP/VITALII MATOKHA

Sebuah bangunan hancur setelah serangan rudal di Dnipro, Ukraina, 28 Juli 2023. Tiga orang luka dalam peristiwa itu.

Di sisi lain, Ukraina saat ini tampak cukup ”frustrasi” dan kehabisan cara untuk memberi citra keberhasilan atas serangan balik yang sudah berlangsung dua bulan ini.

Associated Press mencatat bahwa pada serangan terbaru itu sistem pertahanan udara Rusia menembak satu drone kamikaze di Odintsovo di seputar Moskwa, sementara dua drone lainnya berhasil diacak sinyal dan jatuh ke distrik bisnis di tengah Moskwa.

Ledakan akibat pencegatan pada drone menimbulkan kerusakan karena terjadi sejajar dengan tinggi apartemen. Salah satu ledakan drone di area bisnis dekat gedung Kementerian Pertahanan Rusia beredar luas di media sosial.

Terkait serangan drone terbaru, juru bicara Angkatan Udara Ukraina, Yurii Ihnat, dalam rilis resmi menyatakan bahwa serangan drone ke Moskwa ditujukan untuk memberi ”pesan” kepada warga Rusia bahwa peperangan tak lagi jauh dari mereka. ”Warga Rusia tak akan lagi hidup wajar seakan tak ada peperangan yang sedang mereka lakukan di wilayah tetangganya,” kata Ihnat.

Selama ini sangat jarang militer Ukraina segera mengakui terang-terangan serangan yang menyasar masuk ke wilayah Rusia karena dampak sensitivitasnya.

Sebelumnya, dalam serangan drone yang meledak di dekat bendera negara di puncak Istana Kremlin, 3 Mei 2023, tidak ada pengakuan formal tentang siapa pelaku serangan drone. Secara resmi, Ukraina membantah terlibat dalam serangan di Istana Kremlin tersebut.

Sebagai dampak ledakan tiga drone Minggu dini hari itu, kantor berita TASS hanya menampilkan sejumlah jendela apartemen yang rusak di lantai 5 dan 6 dari sebuah apartemen 50 lantai.

Terlebih, setelah serangan tiga drone pada hari Minggu (30/7/2023) itu, terjadi lagi serangan menggunakan dua drone kamikaze pada Senin yang menyasar gedung pusat komunikasi dan informasi Rusia dan ledakannya menghancurkan ruangan-ruangan kontrol.

Dua drone yang dikirim tampak sungguh-sungguh menyasar gedung yang sama untuk mengirim pesan bahwa Ukraina mampu menarget sasaran secara terarah di Moskwa tanpa mampu dicegat secara efektif.

Baca juga: Serangan Balik Ukraina Mendapat Tambahan ”Vitamin” Baru

Simbolis

Serangan drone kamikaze pada Senin merupakan yang kelima kalinya serangan Ukraina ke Moskwa dan yang keempat dalam dua minggu terakhir.

Keberhasilan sebagian drone kamikaze mencapai tujuannya di dalam wilayah Moskwa membuktikan bahwa sangat sulit mencegat penetrasi drone kamikaze dalam perang ini.

Sulitnya mencegat serangan drone kamikaze juga dialami Ukraina. Serangan drone Shahed-136 buatan Iran yang digunakan Rusia berhasil memorak-porandakan kota-kota penting di Ukraina. Tak hanya hitungan jari, dalam satu serangan Rusia bisa meluncurkan belasan atau puluhan drone sekaligus.

Laman United States Institute of Peace, Rabu (26/7/2023), mencatat, Rusia pernah meluncurkan puluhan drone kamikaze Shahed-136 pada 1 Januari 2023 ke seluruh kawasan ibu kota Ukraina, Kyiv.

Militer Ukraina mengklaim 45 drone di antaranya dijatuhkan sistem pertahanan udara, sedangkan beberapa selebihnya berhasil mengenai sasaran sistem pembangkit energi dan jaringan pemanas udara.

AFP/ OLEKSANDR GIMANOV

Penduduk lokal berjalan bergandengan di antara puing-puing bangunan yang rusak akibat serangan rudal Rusia di Odesa, Ukraina, Minggu (23/7/2023).

Hingga akhir tahun 2022, Rusia diperkirakan telah menerima 1.700 drone kamikaze Shahed-136 dari Iran, yang menimbulkan kecaman dan sanksi baru dari AS terhadap Pemerintah Iran dan perusahaan teknologi angkasa Iran.

Dampak sanksi ini tampaknya telah mengurangi kapasitas drone kamikaze Rusia sehingga sampai akhir Juli 2023, ”hanya” sejumlah 400 drone jenis Shahed dan jenis lainnya yang dikirim ke Rusia.

Meski terpaut setahun lebih dengan kemampuan pengiriman drone kamikaze di medan tempur oleh Rusia, Ukraina tampaknya kini mulai menggunakan kemampuan drone kamikazenya untuk mengacak-acak soliditas publik Rusia.

Penggunaan drone berdaya ledak relatif ”rendah”, dengan 10-20 kilogram bahan peledak, tentu tak akan menimbulkan kerusakan fisik berarti bagi Rusia apalagi jika hanya satu dua drone yang dikirimkan.

Meski demikian, kerusakan politik dan sosial yang dialami jauh lebih besar karena selama ini publik Rusia dan Barat sama-sama meyakini bahwa Moskwa tak akan mampu ditembus senjata Ukraina baik karena kekuatan pertahanan udaranya maupun karena ancaman nuklir Rusia.

Laman polling Rusia ”1420” Daniil Orain di Youtube yang mewawancarai publik Moskwa pascaserangan drone terbaru di pusat bisnis mendapatkan dua jenis jawaban yang mencerminkan kekhawatiran dan kemarahan.

Kekhawatiran karena kini serangan Ukraina bisa mengenai wilayah mana pun di ibu kota Rusia dan kemarahan kepada Ukraina karena berani menyerang hingga ke dalam wilayah paling aman Rusia.

Betapa pun seluruh responden yang diwawancara Orain memberikan gambaran yang semakin umum saat ini bahwa penduduk Rusia makin menyadari bahwa ”operasi khusus” yang dijalankan pemerintah mereka sedang ”tidak baik-baik” saja.

Baca juga: Mampukah Ukraina Menjalankan Serangan Balik dengan Mulus?

Ancaman nuklir

Seperti diduga, serangan drone pada Minggu ke Moskwa itu membangkitkan kemarahan yang meluas dan munculnya ancaman nuklir baru dari petinggi Rusia. Jika sebelumnya ancaman nuklir kerap disuarakan Presiden Rusia Vladimir Putin, kini ancaman itu disuarakan wakil Putin di Dewan Keamanan Rusia, yakni Dmitry Medvedev.

Hal itu terlihat dari narasi yang disuarakan Medvedev yang kini menengarai bahwa Ukraina bisa saja memenangi perang karena bantuan NATO dan negara-negara Barat.

”Bayangkan jika.. ofensif, yang didukung oleh NATO, berhasil dan mereka merobek sebagian tanah Rusia maka kami akan dipaksa untuk menggunakan senjata nuklir sesuai aturan keputusan dari presiden Rusia, tidak ada pilihan lain. Jadi, musuh kita harus berdoa untuk kesuksesan prajurit Rusia. Mereka harus memastikan bahwa bencana nuklir global tidak tersulut,” kata Medvedev sebagaimana dikutip dari Reuters, Minggu.

Sejak awal perang, ancaman penggunaan senjata nuklir dalam perang ini sudah dilakukan paling tidak 13 kali oleh Rusia. Bahkan, Presiden Putin sudah mengancam penggunaan nuklir sejak awal peperangan, yaitu di 28 Februari 2022, dengan memerintahkan kekuatan nuklir Rusia untuk dalam posisi kesiagaan tinggi alias dalam ”mode perang”.

AFP/ANATOLII STEPANOV

Selain oleh Putin, ancaman penggunaan senjata nuklir juga pernah dinyatakan oleh Menhan Sergei Shoigu, Menlu Sergei Lavrov, pemimpin Chechnya, Ramzan Kadyrov, bahkan sekelas pengamat politik Sergey Karaganov.

Secara formal, langkah-langkah Rusia untuk mendekatkan diri pada penggunaan senjata nuklir memang dilakukan meski tidak frontal.

Misalnya, pada 21 Februari 2023, dalam pidato di Majelis Federal, sebagaimana ditayangkan saluran televisi milik negara Russia-1, 26 Februari 2023, Presiden Putin mengumumkan bahwa Rusia akan menangguhkan keikutsertaannya dalam perjanjian pembatasan senjata nuklir dengan AS, ”START”, yang baru.

Kata Putin, ”Kami tidak menarik diri dari perjanjian, tetapi menangguhkan keikutsertaan.” Putin mengatakan bahwa Rusia tidak punya pilihan selain ”memperhitungkan” kemampuan nuklir NATO karena Barat ingin ”melikuidasi” Rusia.

Meski selalu mengancam akan menggunakan senjata nuklir, Rusia juga mengatakan akan terus memberi tahu AS tentang rencana peluncuran (percobaan) rudal balistik antarbenua dan kapal selam di bawah Perjanjian Pemberitahuan Peluncuran Rudal Balistik 1988.

Rusia saat ini diduga sedang mengembangkan torpedo nuklir terbesar di dunia bertajuk ”Poseidon”, yang diangkut dengan kapal selam generasi kelima berukuran raksasa kelas Belgorod (berbobot 30.000 ton) dan sangat dikhawatirkan Barat.

Kesungguhan Rusia memperkuat ancaman dengan kekuatan senjata nuklir juga diwujudkan dengan rencana penempatan senjata nuklir taktis (nuklir berdaya ledak rendah) di teritorial Belarus, sekutu Rusia.

Associated Press, 13 Juli 2023, memberitakan pernyataan Presiden Belarus Alexander Lukashenko bahwa Belarus telah menerima beberapa senjata nuklir taktis Rusia dan memperingatkan tidak akan ragu menggunakannya ke Ukraina jika negara Belarus menghadapi tindakan agresi (dari Ukraina dan NATO).

Pernyataan Lukashenko ini bernuansa ”mencari muka” karena secara substansi malah lebih ”maju” daripada pernyataan Putin yang belum selesai menempatkan satu pun hulu ledak nuklir.

Baca juga: Satu Tahun Perang Rusia-Ukraina

Efektivitas ”drone”

Saat ini Rusia mengandalkan drone buatan Iran dan belakangan drone seri Lancet buatan dalam negeri. Sementara Ukraina sejak awal mengandalkan Bayraktar II, drone FPV (first person view) kamikaze, dan kini drone Beaver (berang-berang) yang banyak disebut dipakai menyerang Moskwa.

Meski memiliki spesifikasi agak mirip Shahed-136, drone Beaver Ukraina ditengarai memiliki keunggulan dari segi jarak jangkau yang diklaim menjangkau 1.000 km dan kemampuan antiradar.

AFP/YASUYOSHI CHIBA

Drone mendekat untuk menyerang Kyiv pada 17 Oktober 2022 di tengah invasi Rusia ke Ukraina.

Jika sebuah sasaran militer butuh belasan hingga puluhan tembakan artileri untuk ketepatan titik jatuh proyektil, drone kamikaze atau FPV sering kali hanya butuh satu atau drone untuk menghancurkannya secara tepat.

Baik Rusia maupun Ukraina sama-sama mengeksploitasi keandalan drone sebagai senjata ”murah” dan mudah dioperasikan di medan tempur menjadi senjata yang melumpuhkan kemampuan mobilisasi lawan.

Drone seharga puluhan hingga ratusan juta rupiah yang dimodifikasi untuk membawa proyektil RPG (rocket propelled grenade) bisa menghancurkan tank tempur utama yang berharga puluhan atau ratusan miliar rupiah.

Kini dengan terguncangnya ibu kota Moskwa oleh drone ”berang-berang” (disebut demikian karena bentuk tengah gendut seperti berang-berang), semakin terbukti bahwa drone mampu menggoyang negara adidaya militer kedua dunia. Bahkan, tak sekadar mengganggu negara ”Beruang Merah”, drone berpotensi mengubah jalannya peperangan.

Saat ini baik Rusia maupun Ukraina sedang berlomba memproduksi drone sendiri dengan tingkat kemampuan penetrasi dan daya rusak yang lebih besar.

Yang dibuat bukan drone besar seperti di masa perang dingin, yang sebesar pesawat terbang sebagaimana drone ”Strizh TU-141” Rusia atau drone intai Global Hawk Amerika, melainkan drone cilik sedikit lebih besar dari telapak tangan tetapi mampu menggotong sebuah granat tangan.

Peperangan ini juga secara dramatis meningkatkan inovasi Ukraina dalam membangun persenjataan relatif murah tetapi efektif. Tak hanya drone terbang, negara ini juga membuat drone laut (sea drone) dari speedboat yang dipersenjatai dan dibekali kemampuan remote control.

Ukraina sudah menggunakannya sejak April 2023 untuk menyerang kapal-kapal perang Rusia yang sandar di dermaga Pelabuhan Sevastopol, Crimea.

(AP PHOTO/LIBKOS, FILE)

Pada 17 Juli 2023 Ukraina kembali menggunakan drone laut menyerang jembatan Crimea yang ikonik dengan drone laut. Serangan yang dilakukan malam hari dengan dua drone laut dengan masing-masing hulu ledak sebesar 300 kg itu mampu merobohkan salah satu bentang lajur jembatan yang menghubungkan Semenanjung Crimea dengan daratan Rusia itu.

Dua warga sipil menjadi korban tewas dalam ledakan itu yang disebut oleh Rusia sebagai ”serangan teroris” dikendalikan oleh pasukan khusus Ukraina. Rusia membalas serangan ini dengan menembakkan rudal dan drone ke arah kota pelabuhan Odesa yang dianggap menjadi basis pembuatan drone laut Ukraina.

Tak heran, bahkan si raksasa Beruang Merah pun kini marah-marah dan mengamuk karena pinggulnya dicolek si gemoy ”berang-berang”. (LITBANG KOMPAS)

Baca juga: Perang Akan Kembali ke Rusia