Blog

losandes.biz: Setiap Waktu Adalah Tahun Politik


Dalam era yang terus berkembang dengan pesat, informasi telah menjadi komoditas yang tak ternilai harganya. Dari revolusi digital hingga transformasi teknologi, dunia kita kini tenggelam dalam lautan informasi yang tak pernah kering. Artikel ini mengajak kita untuk melangkahkan kaki ke dalam kompleksitas tatanan informasi saat ini, mengeksplorasi tantangan dan peluang yang muncul dalam mengelola dan memahami gelombang informasi yang terus menggulung. Dari algoritma cerdas hingga arus berita yang tak kenal lelah, mari kita telaah bersama bagaimana kita dapat menjadikan informasi sebagai alat untuk mendobrak batasan dan memahami dunia di sekitar kita dengan lebih baik.

Berikut adalah artikel atau berita tentang Harian losandes.biz dengan judul losandes.biz: Setiap Waktu Adalah Tahun Politik yang telah tayang di losandes.biz terimakasih telah menyimak. Bila ada masukan atau komplain mengenai artikel berikut silahkan hubungi email kami di [email protected], Terimakasih.

Gambar ilustrasi masa pemiluFoto: Reuters/A. Foto
Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Segala ikhtiar itu terjadi setiap waktu, tidak hanya terjadi pada waktu yang disebut “tahun politik”. Bagi politisi yang gagal dapat kursi selepas pemilu, bisa mencoba lagi pada putaran berikutnya, sampai fisik dan dana sudah tidak sanggup mendukung lagi. Bagi rakyat jelata, segala keriuhan politisi itu tak ubahnya seperti pasar malam, hanya sekadar tontonan. Seperti halnya pasar malam, banyak wahana atau lapak yang menawarkan aneka atraksi, yang bisa dipilih sendiri oleh penonton (rakyat jelata), bila tidak berkenan atas atraksi yang ada, atau pasar malam sudah berakhir, penonton akan pergi.

Seleksi alam politisi

Dari semua teater politik tahun lalu, tentu yang paling heboh adalah ketika logika politik (baca: kekuasaan) digunakan untuk mengatur segenap ilmuwan dan lembaga penelitian di bawah pemerintah, untuk kemudian diintegrasikan dalam BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Sejak awal sudah diramalkan proses integrasi bakal menemui jalan terjal, karena logika politisi dan ilmuwan jelas berbeda, ilmuwan selalu berpikir secara independen, sementara politisi berkarakter pragmatis dan oportunis.

Sampai hari ini, kekisruhan proses integrasi belum juga ditemukan solusinya, karena logikanya memang sudah salah kaprah sejak awal, keblinger bila meminjam istilah Bung Karno. Proses integrasi yang dipaksakan ini, bukan hanya ancaman bagi ekosistem riset bermutu dan kebebasan berpikir, namun yang paling memprihatinka adalah, bagaimana proses itu adalah malapetaka bagi peradaban.

Sebagaimana metafora pasar malam di atas, bagi wahana yang memberi tontonan bagus tentu akan banyak pengunjungnya, dan diharapkan berlanjut sampai Pemilu 2024. Dengan kata lain, segala manuver politisi itu tetap ada manfaatnya bagi rakyat, sekecil apa pun, setidaknya ada informasi terkait calon publik. Pada akhirnya publik sendiri yang akan memutuskan, siapa figur yang akan didukungnya.

Faktor pendidikan

Salah satu faktor yang prinsip adalah soal pendidikan. Pendidikan tetap berperan penting dalam pembentukan karakter dan integritas diri. Itu sebabnya bagi generasi milenial yang ingin menjadi politisi, harus berlatar belakang pendidikan yang memadai, setidaknya selesai sarjana (strata satu). Dan jangan mengulang kebiasaan politisi generasi sebelumnya (baby boomers), ketika gelar akademik diposisikan dalam perspektif feodalisme, sebagai modal memburu kekuasaan dan jabatan.

Sempat ada perdebatan di media arus utama dan medua sosial, soal pimpinan sebuah partai yang kebetulan tidak sempat selesai kuliahnya. Secara kebetulan pula, partai ini acapkali diklaim sebagai pembawa aspirasi generasi milenial. Bila pendukungnya saja, rata-rata selesai kuliahnya, idealnya pemimpinnya juga begitu, setidaknya masih memiliki tekad untuk menuntaskan pendidikan. Dan tekad atau niat ini harus firm diketahui publik.

Namun respons yang terjadi, para pendukung dan tokoh dimaksud bersikap defensif, dengan memberi apologia yang kurang pas. Salah satu apologia yang acapkali dipakai untuk orang yang tidak sempat menyelesaikan kuliahnya, adalah dengan merujuk pengalaman Mark Zuckerberg (pendiri dan pemilik Facebook).

Pada titik ini saya ingat atas pendidikan putra-putri presiden pertama dan kedua kita, yang ada sebagian tidak begitu jelas nasib studinya. Latar belakang pendidikan anak Soeharto umumnya tidak terlalu jelas. Sepertinya hanya Mbak Titik (lulusan FEUI) dan putri bungsunya Mbak Mamik (lulusan program studi Statistik IPB), yang lumayan memadai pendidikannya. Bambang Trihatmodjo dikabarkan sempat kuliah di Inggris, namun tidak jelas bagaimana kelanjutannya.Sebenarnya yang dipersoalkan bukanlah kecerdasan atau ijazah formal, namun lebih pada soal menyia-nyiakan kesempatan.

Sementara latar belakang pendidikan putera-puteri Soekarno beragam, artinya ada yang terhenti, namun ada yang selesai juga, setidaknya sarjana strata satu. Seperti dua putera Bung Karno dengan Ibu Hartini, yakni Taufan (seni rupa ITB, almarhum) dan Bayu (FISIP UI). Sementara putera-puteri Bung Karno dengan Ibu Fatmawati, latar belakang pendidikannya tidak terlalu jelas, mungkin keadaan saat itu yang tidak kondusif untuk merampungkan studi. Tetapi kenapa anak-anak bersama Ibu Hartini bisa menyelesaikan studinya, mungkinkah ada faktor tekad?

Dihubungkan dengan ekosistem lembaga penelitian yang sedang bermasalah, termasuk pendekatan kekuasaan dalam mengelola ilmuwan, kiranya situasi ini tidak menyurutkan semangat belajar generasi milenial. Kemudian bila ada politisi yang seolah tetap percaya diri kendati tidak selesai sekolah, atau sebaliknya, memanfaatkan gelar akademik yang berderet sekadar jalan pintas dalam memburu kekuasaan, sebaiknya abaikan saja.

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.