Blog

losandes.biz: Risiko Zoonosis Meningkat Implementasi Konsep One Health Masih Lemah


Dalam era yang terus berkembang dengan pesat, informasi telah menjadi komoditas yang tak ternilai harganya. Dari revolusi digital hingga transformasi teknologi, dunia kita kini tenggelam dalam lautan informasi yang tak pernah kering. Artikel ini mengajak kita untuk melangkahkan kaki ke dalam kompleksitas tatanan informasi saat ini, mengeksplorasi tantangan dan peluang yang muncul dalam mengelola dan memahami gelombang informasi yang terus menggulung. Dari algoritma cerdas hingga arus berita yang tak kenal lelah, mari kita telaah bersama bagaimana kita dapat menjadikan informasi sebagai alat untuk mendobrak batasan dan memahami dunia di sekitar kita dengan lebih baik.

Berikut adalah artikel atau berita tentang Harian losandes.biz dengan judul losandes.biz: Risiko Zoonosis Meningkat Implementasi Konsep One Health Masih Lemah yang telah tayang di losandes.biz terimakasih telah menyimak. Bila ada masukan atau komplain mengenai artikel berikut silahkan hubungi email kami di [email protected], Terimakasih.

Dokter dan peneliti kesehatan lingkungan dari Griffith University, Dicky Budiman, Minggu (23/7/2023), mengatakan, penyakit menular baru ataupun penyakit lama yang muncul kembali menjadi salah satu tantangan kesehatan masyarakat terbesar. ”Sekitar tiga perempat dari penyakit ini berasal dari hewan atau zoonosis,” ujarnya.

Penyakit-penyakit menular ini termasuk zoonosis klasik yang dialami manusia melalui transmisi dari vertebrata lain, seperti rabies. Selain itu, ada peristiwa zoonosis satu kali yang kemudian menjadi virus yang menulari sesama manusia, seperti influenza H1N1 dan HIV.

Risiko penularan zoonosis di Indonesia terkait perjalanan dan perdagangan global. Namun, ada tiga faktor spesifik, yaitu tingginya pertumbuhan penduduk, urbanisasi yang pesat dan tidak terkendali, serta kerusakan habitat alami yang jadi rumah bagi beragam satwa liar akibat deforestasi yang diperparah perubahan iklim.

Baca juga : Zoonosis Abad Ini

”Kalau kita gagal mengatasi tiga masalah ini, Indonesia berpeluang menjadi sumber dan hot spot zoonosis baru,” ujarnya.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Seekor kucing ras peliharaan warga akan disuntik vaksin rabies di lingkungan RW 006 Kelurahan Gunung, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (10/7/2023). Selain kucing, hewan penular rabies lainnya, seperti anjing, kera, dan musang, juga wajib divaksin rabies.

Perambahan habitat alami bisa mengganggu keseimbangan ekologis, selain meningkatkan kontak langsung satwa liar dengan manusia. Hal ini berpotensi mengakibatkan tumpahan mikroba hewan ke dalam populasi manusia.

Meningkatnya pemeliharaan ternak untuk dikonsumsi ataupun dipelihara sebagai hobi serta perdagangan satwa liar untuk dikonsumsi menciptakan lebih banyak peluang persilangan patogen. Munculnya SARS-CoV-2 yang semula beredar di satwa liar, diduga kelelawar dan trenggiling, dipicu meningkatnya kontak hewan dan manusia.

Kalau kita gagal mengatasi tiga masalah ini, Indonesia berpeluang menjadi sumber dan hot spot zoonosis baru.

Sementara kepadatan penduduk di perkotaan dengan lingkungan buruk juga berpeluang memicu sejumlah penyakit bersumber hewan atau zoonosis, di antaranya ditularkan oleh tikus. Tikus dapat menyebarkan lebih dari 35 penyakit di seluruh dunia dan salah satunya adalah penyakit pes atau wabah hitam.

”Dalam sejarah, wabah hitam pernah membunuh jutaan orang di Eropa selama abad pertengahan,” katanya. Penyakit infeksi ini menyebar ke manusia disebabkan kutu yang terinfeksi bakteri Yersinia pestisdan dibawa hewan pengerat, khususnya tikus.

Pendekatan One Health

Dicky mengatakan, dengan risiko saat ini, pendekatan One Health, yaitu penguatan kesehatan hewan dan lingkungan, harus menjadi bagian dari upaya meningkatkan kesehatan masyarakat.

Sementara Tri Satya Putri Naipospos dari Centre for Indonesian Veterinary Analytical Studies mengutarakan, kasus rabies sudah puluhan tahun ada di Indonesia.

Di Nusa Tenggara Timur, khususnya Flores, sudah 20 tahun lebih ada rabies. Bukannya bisa berkurang, trennya malah meluas. Ada daerah baru, seperti Pulau Timor, yang sebelumnya bebas rabies, tetapi sejak tahun ini penyakit itu masuk ke daerah tersebut.

Rabies pada manusia itu disebabkan oleh 98 persen akibat gigitan anjing. ”Rabies sebenarnya bisa dicegah dengan vaksinasi, yaitu vaksinasi pada anjing, bukan manusianya. Kalau vaksinasi atau serum pada manusianya kalau sudah terjadi penularan melalui gigitan, itu untuk pengobatan,” katanya.

Tri menilai, upaya pencegahan rabies ini belum serius dilakukan. ”Pemerintah pusat dan daerah tak bisa menyediakan vaksin rabies yang memadai untuk anjing. Apalagi, kini pemerintah indikasinya mulai tidak peduli. Dosis vaksin rabies yang disediakan tahun ini saja amat kecil, di bawah 200.000 dosis bagi seluruh Indonesia,” tuturnya.

DOKUMEN DINAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN SIKKA

Penyuntikan vaksin rabies pada anjing di Desa Wuring, Kecamatan Alok Barat, Sikka, Nusa Tenggara Timur, Selasa (18/4/2023). Dinas Pertanian dan Peternakan Sikka secara masif memberikan vaksin rabies pada anjing peliharaan warga. Namun, masih ada sebagian warga yang menolak anjingnya divaksin.

Padahal, jumlah anjing di Indonesia sangat besar, khususnya di daerah dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi, seperti NTT dan Bali. Di Kabupaten Sikka, misalnya, terdapat 55.000 anjing sehingga alokasi vaksin rabies amat tak memadai. ”Sebenarnya perangkat untuk mengatasinya ada, tetapi perhatian dan keseriusan untuk mengatasinya tidak ada,” katanya.

Sementara penyakit antraks, lanjut Tri, sangat sulit dihilangkan karena sporanya bisa bertahan puluhan tahun. ”Di negara lain, membuat pemetaan daerah endemik antraks yang bisa berulang. Kembali, yang bisa dilakukan adalah pencegahan melalui vaksinasi pada hewan. Dengan vaksinasi ini, hewan yang makan rumput tercemar spora antraks ini bisa kebal,” ujarnya.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Tim Reaksi Cepat Badan Penanggulangan Bencana Daerah Gunungkidul menyemprotkan cairan untuk mengurangi risiko penyebaran antraks di areal permukiman warga di Dusun Jati, Candirejo, Semanu, Gunungkidul, DI Yogyakarta, Jumat (7/7/2023).

”Dalam kasus antraks, misalnya, ada survei instansi kesehatan sendiri, lalu survei instansi pertanian dan peternakan. Ego sektoral masih terjadi dan ini sulit untuk One Health,” ujarnya.