Blog

losandes.biz: Tinjauan Buku Transisi Politik Menuju Demokrasi


Dalam era yang terus berkembang dengan pesat, informasi telah menjadi komoditas yang tak ternilai harganya. Dari revolusi digital hingga transformasi teknologi, dunia kita kini tenggelam dalam lautan informasi yang tak pernah kering. Artikel ini mengajak kita untuk melangkahkan kaki ke dalam kompleksitas tatanan informasi saat ini, mengeksplorasi tantangan dan peluang yang muncul dalam mengelola dan memahami gelombang informasi yang terus menggulung. Dari algoritma cerdas hingga arus berita yang tak kenal lelah, mari kita telaah bersama bagaimana kita dapat menjadikan informasi sebagai alat untuk mendobrak batasan dan memahami dunia di sekitar kita dengan lebih baik.

Berikut adalah artikel atau berita tentang Harian losandes.biz dengan judul losandes.biz: Tinjauan Buku Transisi Politik Menuju Demokrasi yang telah tayang di losandes.biz terimakasih telah menyimak. Bila ada masukan atau komplain mengenai artikel berikut silahkan hubungi email kami di [email protected], Terimakasih.

Judul Buku Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia
Penulis Satya Arinanto
Penerbit Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Tahun Terbit 2018
Cetakan Ke-5
Jumlah Halaman xxxviii + 500 hlm
ISBN 979-8980-20-4

Transisi Politik Menuju Demokrasi

Buku “Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia” karya Satya Arinanto ini, mencoba mengajak pembaca melihat bagaimana negara-negara di dunia menghadapi masa transisi dari negara yang otoriter menuju negara demokrasi baru semenjak tahun 1970-an. Pergerakan tersebut terjadi setelah kurang lebih dua puluh dua tahun Dekralasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR), yang merupakan tonggak sejarah hak asasi manusia (HAM) diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 10 Desember 1948 di Paris.[1] Dalam pembukaannya, UDHR menegaskan bahwa pengabaian dan penghinaan terhadap HAM telah mengakibatkan tindakan biadab yang menodai hati nurani. Oleh karenanya, HAM harus dilindungi oleh supremasi hukum.[2] Fondasi dasar pembenaran instrumen hukum internasional di bidang HAM adalah harkat dan martabat manusia itu sendiri.[3]

Lebih dari 40 negara mengalami transisi politik dari otoritarianisme menuju demokrasi. Proses transisi ini sangat bervariasi. Dalam beberapa kasus, misalnya di berbagai rezim militer, kelompok Reformis yang mengambil inisiatif untuk mendorong transisi. Di lain kasus, transisi muncul dari negosiasi antara pemerintah dengan kelompok oposisi. Dalam kasus yang sangat sedikit, ada intervensi Amerika Serikat dalam menjatuhkan kediktatoran dan menggantinya dengan rezim yang dipilih rakyat (hlm. 98).

Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa rezim-rezim otoritarian tidak dapat disamakan antara satu negara dengan negara yang lain. Tidak ada rezim otoritarian yang bisa dianggap monolitik, dan demikian juga dengan memperjuangkan demokrasi. Pembedaan-pembedaan dapat ditarik antara demokrasi dan poliarki, demokrasi dan liberalisasi, antara transisi dan konsolidasi, antara kaum garis keras dan kaum garis lunak, atau para akomodasionis dalam koalisi otoritarian, dan antara kaum maksimalis, moderat, dan oportunis dalam koalisi yang mendukung liberalisasi (hlm.101-102).

Dua rezim totaliter yang pernah ada dan paling berpengaruh adalah pemerintahan nasional-sosialisme (Nazi) di bawah kekuasaan Adolf Hitler (1933-1945) di Jerman dan kekuasaan Bolshevisme Soviet di bawah komando Jossif W. Stalin (1922-1953). Akibat Perang Dunia II, rezim totaliter ini kemudian menyebar dengan intensitas yang berbeda-beda ke negara-negara  komunis lainnya di Eropa Timur, Tiongkok, Korea Utara, dan Indocina (Kamboja, Laos, Vietnam). Kamboja dijadikan sebagi negara yang pernah mengalami pemerintahan totaliter paling mengerikan sesudah Khmer Merah mengambil alih kekuasaan tahun 1975 (hlm. 103). Rezim Khmer Merah sangat totaliter, otokratis, xenofobia, paranoid, dan represif. Banyak kematian “genosida” akibat kebijakan rekayasa sosial rezim dan kebijakan Maha Lout Ploh, yang merupakan tiruan kebijakan Great Leap Forward Tiongkok [8]

Semua rezim otoritarian apapun tipenya mempunyai kesamaan dalam satu hal yaitu hubungan sipil-militer tidak begitu diperhatikan. Hampir semua negara tidak memiliki karakteristik hubungan sipil-militer seperti di negara industrial yang demokratis (kontrol sipil objektif). Adapun karakteristik tersebut yaitu: (1) profesionalisme militer yang tinggi dan pengakuan dari pejabat militer akan batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang mereka, (2) subordinasi yang efektif dari militer kepada pemimpin politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer, (3) pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin politik tersebut atas kewenangan profesional dan otonomi bagi militer, dan akibatnya, (4) minimalisasi intervensi militer dalam politik dan minimalisasi intervensi politik dalam militer (hlm. 105).

Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik

Aturan pengampunan tersebut menurut Ntsiki Biko (istri dari Steven Biko) adalah suatu pembusukan. Menurutnya, semua orang di Afrika Selatan memang menginginkan rekonsiliasi, namun demikian tetap harus adil. Ntsiki menghendaki agar para pembunuh suaminya dihukum. Oleh karena itu, sebelum pembunuh Steven Biko mengajukan permohonan untuk mendapatkan amnesti dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrikas Selatan, Ntsiki mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) Afrika Selatan dengan tuntutan bahwa kewenangan komisi untuk memberikan amnesti adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan hukum internasional. Namun, meski simpati terhadap Ntsiki, MK tetap menolak argumen Ntsiki tersebut (hlm. 127). Pada tanggal 16 Februari 1999, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan memutuskan untuk menolak memberikan amnesti kepada pembunuh Steven Biko. Adapun alasannya adalah para pembunuh Biko belum memberikan kesaksian dengan sejujur-jujurnya tentang kematian Biko kepada komisi, dan pembunuhan Biko tidak terkait dengan suatu tujuan politik (hlm. 128-129).

Pengalaman Beberapa Negara

Untuk melihat garis besar pengalaman beberapa negara dalam menempuh transisi politiknya, Arinanto membagi ke dalam dua kelompok, yaitu: 1) negara-negara Amerika Selatan (Amerika Latin), 2) negara-negara non-Amerika Latin. Pengelompokan ini didasarkan pada beberapa kesamaan karakteristik yang dimiliki negara-negara tersebut.

Di negara Amerika Latin ada dua rezim kekuasaan otoriter. Pertama, rezim “Otoriterisme Birokratis” atau “Tradisional”. Rezim ini memiliki unsur-unsur patrimonialis dan dalam beberapa kasus juga sultanistis. Rezim ini merupakan jenis rezim yang paling rentan terhadap transformasi revolusioner. Beberapa rezim yang pernah ada di antaranya, a) rezim Somoza di Nikaragua, b) rezim Batista di Kuba, dan c) rezim Stroessner di Paraguay (hlm. 134-139). Kedua, rezim Otoriterisme “Populis”. Dalam rezim ini, peran-peran sentral dimainkan oleh gerakan-gerakan politik sipil yang diarahkan oleh kepemimpinan yang sangat dipersonalisasikan. Contoh negara yang pernah mengalami rezim ini adalah Peru.

Selain dua rezim tersebut, Arinanto juga mencontohkan Cile dan Meksiko yang konfigurasi politiknya mirip dengan birokratik otoriter. Namun di Cile, langkah-langkahnya sangat terbatas, mudah dibalikkan, dan tidak pasti menuju liberalisasi. Begitu juga dengan Meksiko di mana tingkat pelembagaan relatif tinggi, peran yang dimainkan angkatan bersenjata juga relatif kecil, namun gerakan rakyat sangat revolusioner (hlm. 139-140).

Epilog

Melalui buku ini, penulis berusaha meyakinkan pembaca bahwa transisi politik otoritarian menuju demokrasi muncul dari tiga proses, yaitu:  (1) negosisasi pemerintah dengan oposisi di setiap negara; (2) ada yang lahir dari hancurnya pemerintahan rezim otoritarian di negara tersebut; dan (3) dalam kasus yang sangat sedikit ada intervensi dari Amerika Serikat. Dari ketiga proses transisi tersebut, pengaruh-pengaruh dominan dalam setiap kasus transisi politik otoritarian menuju demokrasi tetap berasal dari keinginan masyarakat di setiap negara.

Penulis berhasil menunjukkan bahwa rezim-rezim otoritarian tidak dapat disamakan antara satu negara dengan negara yang lain. Menurutnya, rezim otoritarian dan kekuatan-kekuatan yang memperjuangkan demokrasi tidak bisa dianggap monolitik. Pembedaan dapat ditarik antara demokrasi dan poliarki, antara demokratisasi dan liberalisasi, antara transisi dan konsolidasi, antara kaum garis-keras dan kaum garis-lunak atau para akomodasionis dalam koalisi otoritarian, dan antara kaum maksimalis, moderat, dan oportunis dalam koalisi yang mendukung liberalisasi.

Secara garis besar, penulis sudah berhasil melakukan pembahasan tentang transisi politik menuju demokrasi. Penulis telah memaparkan sejarah dan persoalan-persoalan penting yang memiliki pengaruh dalam masa transisi rezim otoritarian menuju demokrasi. Mulai dengan sejarah munculnya pergerakan negara-negara di seluruh dunia yang mulanya otoritarian menuju demokrasi, kemudian reposisi hubungan sipil-militer, dan juga bagaimana HAM di masa transisi politik.

Buku ini diangkat dari disertasi penulis pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Pembahasan yang luas dan komprehensif tak lepas dari pengalaman penulis yang sudah kurang lebih tiga belas tahun melakukan pengamatan baik masalah-masalah HAM di Indonesia maupun di berbagai negara. Karena diangkat dari disertasi penulis maka metodologi penelitian sudah tidak perlu diragukan lagi. Demikian pula dari segi penyajian datanya. Penulis menggunakan data sekunder dari berbagai literatur baik internasional maupun nasional. Namun demikian, sumber yang digunakan penulis hanya berdasarkan buku-buku terdahulu dan media baik cetak maupun daring, tidak sama sekali memperlihatkan hasil wawancara mendalam ataupun focus group discussion (FGD) dengan para ahli sebagai basis data primer. Namun demikian, dari segi sistematika penulisan, pengorganisasian ide penulis telah terstruktur dengan baik.

Buku ini sangat layak menjadi referensi untuk memahami bagaimana negara-negara di dunia bisa bertransisi dari negara otoritarian menjadi negara demokrasi. Buku ini cocok dijadikan bahan diskusi untuk para pegiat dan praktisi politik maupun hukum tata negara terutama yang bergerak/mempunyai minat di bidang HAM, dan tentu saja bagi para civitas academica di kampus. (Sutan Sorik)

REFERENSI

Arinanto, Satya. 2018. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 

Chandler, D. P. (2019). Brother number one: A political biography of Pol Pot. New York: Routledge. https://doi.org/10.4324/9780429501982

Indrayana, Denny. 2007. Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran. Jakarta: Mizan.

Kretzmer, D., & Klein, E. (Eds.). 2002. The concept of human dignity in human rights discourse. The Hague: Kluwer Law International.

Sarkin, Jeremy. 2020. The 2020 United Nations human rights treaty body review process: prioritising resources, independence and the domestic state reporting process over rationalising and streamlining treaty bodies. The International Journal of Human Rights, DOI: 10.1080/13642987.2020.1822337

Sorik, Sutan. 2019. Review Buku Penataan Demokrasi dan Pemilu di Indonesia Pasca Reformasi. Jurnal Penelitian Politik, Vol. 16, No. 1. DOI: https://doi.org/10.14203/jpp.v16i1.773.

United Nation, Universal Declaration of Human Rights, https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights, diakses pada tanggal 28 September 2021, pukul 22:30 WIB.


[1]United Nation, Universal Declaration of Human Rights, https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights, diakses pada tanggal 28 September 2021, pukul 22:30 WIB.

[2]Ibid.,

[3]Kretzmer, D., & Klein, E. (Eds.). The concept of human dignity in human rights discourse. The Hague: Kluwer Law International, 2002, hal. 201-237.

[4]Jeremy Sarkin. The 2020 United Nations human rights treaty body review process: prioritising resources, independence and the domestic state reporting process over rationalising and streamlining treaty bodies. The International Journal of Human Rights, DOI: 10.1080/13642987.2020.1822337, 2020, hal. 3.

[5]Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran. Jakarta: Mizan, 2007, hal. 52.

[7]Sutan Sorik, Penataan Demokrasi dan Pemilu di Indonesia Pasca ReformasiJurnal Penelitian Politik 16.1, 2019, hal. 101-107.

[8]Chandler, D. P. (2019). Brother number one: A political biography of Pol Pot. New York: Routledge. https://doi.org/10.4324/9780429501982